"Lo maunya pergi ke mana, Rin?"
Arvin melihat pada kaca spion untuk kesekian kalinya. Ia sedikit khawatir karena sedari tadi cewek yang biasanya mencak-mencak itu hanya memandang kosong.
"Rin?" ulangnya.
"Ah iya?"
Arvin menghela napas, fokus cewek itu benar-benar tak ada. Arvin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi bukan hal bagus juga kalau langsung bertanya.
"Gue tau tempat yang keren, mau ke sana?" tawar Arvin pada akhirnya.
"Bb..boleh."
Setelahnya tak ada percakapan lagi sampai 15 menit kemudian Arvin memberhentikan motornya. Erin yang seperti baru tersadarkan dari pikirannya mulai mengamati sekitar. Keningnya perlahan berkerut, tanpa sadar tangannya yang sedari tadi ia simpan di atas paha sekarang mencengkeram baju Arvin.
"I...ni mak..sudnya apa, Vin?"
Erin sedikit beringsut takut. Definisi dari tempat yang tadi Arvin bilang keren itu bukan pemakaman umum ini kan?"Kenapa emang?" Arvin yang sudah melepas helmnya menoleh ke belakang. Alis kanannya sedikit terangkat.
Erin menggigit bibirnya, otaknya mulai menebak-nebak bahwa Arvin membawanya ke sini untuk mengunjungi salah satu orang yang berharga bagi Arvin namun sudah tidak ada. Dengan pikirannya yang sedang tidak baik-baik saja, Erin bingung bagaimana cara berekpresi iba, sedih, atau sejenisnya.
"Lo takut ya?"
Dibilang takut, Erin memang takut. Tapi yang lebih tepatnya rasa tak enaknya yang kini ia pikirkan.
"Tenang, gue masih punya otak kok buat nggak ngajak lo mojok di kuburan."
Tanpa sadar Erin menghembuskan napas lega, meskipun Arvin salah menduga. Tapi kalau memang begitu, kenapa Arvin melepas helm?
"Hey Bang! Sampe juga!"
Seorang cowok yang kira-kira berusia sedikit di bawah Arvin--karena dia memanggil Bang pada Arvin--menghampiri. Cowok itu langsung bertos ria dengan Arvin, sangat jelas kalau mereka kenal dekat. Ia juga menatap ke arah Erin kemudian tersenyum ramah.
"Ngerepotin banget nih, udah minjem, dianterin pula."
Dari nada bicaranya Erin bisa menebak kalau dia orang yang baik dan ramah."Nyantai aja. Yaudah Rin, kita turun yuk."
"Ah iya." Karena terlalu fokus pada cowok itu, Erin malah seperti melamun. Ia pun segera turun dan melepaskan helm. Diikuti Arvin yang dengan 'senang hati' mengambil helm itu dari tangannya yang belum berniat menyerahkan. Menyebalkan!
"Pacar baru ya, Bang?" tanya cowok itu yang kini sudah menunggangi motor Arvin.
"Iya."
"Pantes kayak masih malu-malu. Ajakin ke rumah, Bang. Ibu abis bikin kue. Lea juga pasti seneng." Senyum manisnya tercipta. Erin jadi menyayangkan kenapa orang yang beraura seperti malaikat itu mau-mau saja di dekat Arvin.
"Yaudah gue pergi dulu ya. Nanti deh kita ngobrol-ngobrol. ya pacarnya Bang Arvin."
Cowok itu lagi-lagi tersenyum. Senyum manis yang membuat Erin seperti terbius hingga terus mengamatinya meskipun sudah melaju jauh."Kok bengong? Ini kuburan loh, hati-hati kesambet."
Erin tersadarkan, ia menatap ke arah Arvin yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya.
"Dia siapa?"
Jangan mengira bahwa Erin tertarik pada cowok itu dalam artian naksir. Meskipun dia tampan dan senyumnya manis, Erin sama sekali tak tertarik. Ia hanya penasaran saja bagaimana orang seperti itu bisa ada di sekitar Arvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eunoia [TAMAT]
Ficção AdolescenteNamanya Erina. Bermata bulat, berkulit putih mulus, serta berbadan ideal. Semua setuju bahwa dia adalah definisi dari cantik. Sayangnya dengan wujud bak dewi itu sebenarnya Erin adalah orang yang payah di bidang akademik. Mungkin ini yang disebut Yi...