32. Titik Awal

1.7K 134 1
                                    

Semuanya berubah sejak saat itu. Bagi yang lain mungkin hanya kehilangan sosok kepala keluarga, tetapi bagi Erin semua hidupnya terjungkir balikkan.

Erin yang cerdas mendadak tak ingin lagi pergi ke sekolah. Erin yang aktif mendadak pasif dan hanya berdiam diri di kamar. Diri Erin yang sebenarnya seperti musnah di hari itu.

Hingga palu hakim terketuk dan menyatakan bahwa orangtuanya resmi bercerai--dengan hak asuh jatuh pada Mamanya, Erin tak melakukan hal lain.

Tak ada yang bisa membujuknya, bahkan mengajaknya untuk bicara. Fadil yang sudah menginjak kelas 2 SMP termakan bualan mereka bahwa mereka berpisah dengan cara baik-baik. Kecewa ada, namun Fadil bisa dikatakan baik-baik saja. Sementara Liza yang masih kelas 2 SD hanya punya kesimpulan bahwa Ayahnya pindah rumah.

Semula, sekedar itu yang terlihat, hingga bergulirnya waktu mereka dibuat mengerti. Menyendirinya Erin bukan hanya mengartikan kesedihan karena ditinggalkan Ayah. Ada hal yang lebih kompleks daripada itu.

"Dek, main Voli di depan yuk," ajak Fadil, berniat menghibur Erin dengan kegemarannya itu.

Namun, di luar dugaan, Erin yang tengah terduduk di atas kasur itu langsung mendorongnya ke luar kemudian mengunci pintu kamar hingga keesokan pagi. Saat itu yang diucapkan Erin--kalau Fadil tak salah dengar--"Di luar panas, kulit aku bisa kebakar!"
Fadil hanya mengangkat bahu kemudian berlalu, adiknya mungkin masih butuh waktu untuk sendiri.

"Kata Liza kamu pecahin celengan ya? Buat beli apa sayang? Mama kan selalu kasih kamu uang jajan meskipun nggak sekolah."

"Erin beli itu, Ma," jawab Erin seraya menujuk tumpukan majalah di atas meja belajar. Bukan majalah anak yang biasa Mama belikan, melainkan majalah fashion yang biasa dikoleksi remaja atau wanita dewasa.

Dua hari berikutnya, sekitar pukul 3 pagi, dari dapur terdengar suara gaduh. Anita yang masih terlelap pun terbangunkan. Tangannya mengambil tongkat golf dari belakang pintu, takut-takut kalau penyebab suara gaduh itu adalah perampok.

Namun alangkah terkejutnya Anita. Peralatan dapur bercecer di mana-mana. Tepung, potongan sayur, semuanya mengotori hampir seluruh bagian lantai dapur.

"Erin, ini kenapa sayang?" tanya Anita pada putrinya yang tengah mengaduk-aduk sesuatu pada panci di atas kompor yang menyala. Bukankah sangat bahaya untuk anak sekecil Erin main di dapur, apalagi dirinya sendiri tak bisa menjadi contoh karena jarang sekali memasak.

"Mama sudah bangun? Tapi masakan Erin belum matang."

Erin menghampirinya dengan senyuman, saat itulah Anita melihat 2 jari tangan kiri Erin berdarah. Sementara keadaan tangan kanan pun tak jauh mengenaskan. Telapaknya tangannya merah melepuh, entah terkena air panas atau menyentuh panci yang panas.

Anita sudah ingin menangis, namun sekuat tenaga ia tahan dan hanya mengusap lembut kepala Erin.

"Erin mau siapin sarapan ya? Tapi kan kita biasa sarapan jam 6, kalau Erin masaknya sekarang nanti dingin, nggak enak."

"Oh gitu ya, Ma?"

"Iya, sekarang Erin tidur dulu ya, nanti Mama bangunin buat masak."

Erin terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum riang, seolah sakit di kedua tangannya tak bisa ia rasakan.

"Oke deh, bangunin Erin ya, Ma!"

Dan kekhawatiran Anita pun mencapai puncaknya, ketakutannya membuncah dengan air mata yang meluncur.

Dengan langkah bergetar, Anita menghampiri Erin yang terduduk di atas kasur dengan benda-benda yang berserakan di sekitarnya.

"Mama, gimana Erin? Udah cantik?" tanyanya seraya sedikit menjauhkan cermin yang sedari tadi dipegannya.

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang