Epilog

2.4K 128 0
                                    

Anita terlihat tergesa melewati koridor rumah sakit yang lenggang itu. Langkah kakinya beradu bersama rasa cemas. Barusan ia mendapatkan info dari salah satu perawat kalau Erin mengamuk.
Ia bertanya-tanya apa yang membuat Erin demikian. 3 hari yang lalu ketika ia menjenguk--tidak diperbolehkan menjenguk setiap hari--kondisi Erin sudah baik-baik saja, bahkan pesan Dokter Lena semalam pun mengatakan bahwa Erin semakin membaik.

Ruangan Erin hanya beberapa meter lagi, namun langkahnya berubah memelan begitu netranya mendapati seseorang yang berdiri di depan pintu ruang putrinya itu.
Apa ini yang menjadi penyebabnya?

"Sedang apa kamu di sini?" tanyanya yang membuat orang itu terkesiap dan mengadap ke arahnya.

"Anita, saya--"

"Siapa yang memberitahu?"

"Saya benar-benar tidak tahu, saya minta maaf. Ini semua salah saya. Maafkan saya."

Iya ini salah kamu! Erin menderita gara-gara kamu!
Anita ingin sekali berkata seperti itu. Namun terlalu basi untuk sekarang, tidak ada gunanya.

"Sudahlah, kamu lebih baik pulang sekarang."

Yudha terlihat hendak menegosiasi ucapan Anita, sebelum Anita kembali bersuara dan membuatnya kembali bungkam.

"Ini demi Erin, tolong."

Ia juga ingin yang terbaik untuk putrinya itu. Sekarang mungkin bukan saat yang tepat untuk menebus kesalahannya.

"Baiklah. Saya pulang dulu."

oOo

Berjam-jam Anita menunggu. Dokter Lena bahkan sudah menyuruhnya pulang saja, namun beliau tetap bersikeras menunggu Erin sadar, ia ingin melihat sendiri seperti apa kondisi putrinya.

"Mama...." ucap Erin yang baru membuka matanya. Ia bangkit dengan tubuh lemahnya karena masih dipengaruhi obat penenang itu.

"Iya sayang Mama di sini." Anita meraih tangan Erin dan menggegamnya.

"Hiks.... Hiks...."

"Hey kenapa nangis?" tanya Anita, setelah beberapa saat menelaah bahwa tangis Erin kali ini tidak akan menjadi sebuah histeris atau disertai amukan.

"Tadi ada Ayah...."

Anita mengangguk, meski sekarang hatinya berubah waswas. Bayangan bagaimana Erin bertingkah ketika menyinggung soal Ayahnya itu menghampiri.

"Salah ya kalau Erin berharap Ayah ada di samping Erin?"
Selalu seperti ini, siapa pun yang melihatnya pasti bisa memahami seberapa dalam Erin terluka.

Anita menggeleng, "Semua orang punya keinginan, semua orang bebas punya keinginan. Hanya saja tak semua keinginan itu bisa jadi kenyataan."

Anita menghela napasnya sebentar, Matanya menerawang, "Mama juga kecewa ketika Ayah memilih wanita lain dan meninggalkan Mama. Mama pengen nangis, marah-marah, tapi buat apa? Ayah kamu pasti tetap pergi. Kalaupun memaksa dia untuk tetap tinggal, Ayah nggak bakal bisa bahagia, begitu pun Mama yang pada dasarnya ingin Ayah tetap tinggal, secara nggak langsung nantinya kita hanya saling menyakiti satu sama lain. Ayah yang hatinya nggak lagi buat Mama dan Mama yang jelas  tahu akan itu. Itu lebih menyakitkan. Biarkan Ayah mendapatkan kebahagian bersama orang dicintainya, karena seiring waktu Mama juga bisa mencari kebahagiaan Mama sendiri, tanpa Ayah kamu."

Anita menatap lekat putrinya itu, ia berusaha keras agar air matanya tak meluncur. Seperti kata-katanya, ini memang menyakitkan. Jalan terbaiknya adalah berdamai dengan sakit itu sebelum kita tergerogoti semakin dalam.

"Boleh Mama minta kamu menerima itu?"
Anita merasakan Erin mencengkeram tangannya.

"Tapi Erin ingin bersama Ayah." Air mata Erin semakin deras meluncur. Anita tentu sangat tahu seberapa besar Erin menyayangi Ayahnya. Erin lebih dekat dengan Ayahnya dibanding dirinya.

"Erin bisa ketemu sama Ayah, sayang. Kapan pun Erin mau. Kita mungkin nggak bisa bersatu kayak dulu, tapi bukan berarti kita jadi orang lain. Ayah, tetap Ayah Erin."

Erin memejamkan mata, mencerna baik-baik perkataan Mamanya.

"Mau kan maafin Ayah?"

Erin tak membenci Ayahnya, Erin amat sayang padanya, ia tak ingin kehilangan. Kalau bertanya apakah Erin mau memaafkan, Erin bingung apakah selama ini ia menganggap Ayahnya salah atau tidak. Erin hanya takut, semua yang Erin lakukan adalah cara bagaimana ia mengekspresikan ketakutan itu.

"Arvin sepertinya kenal sama Ayah, kamu bisa ajak dia kalau mau nemui Ayah."

Erin menarik tangannya dari genggaman Anita, membuat Anita kebingungan.

"Erin nggak ngerti kenapa Erin ngamuk kalau ketemu Ayah, tapi tadi ada Arvin. Sekarang Arvin pasti jijik sama Erin."

Anita mengusap kepala Erin, menyelipkan rambutnya pada telinga.
"Erin nggak boleh berpikiran seperti itu," ucapnya penuh pengertian.

"Mungkin Ayah nggak mau kembali sama Erin karena Erin gila! dan Arvin juga pasti bakal pergi dari Erin!"

Anita memeluk Erin, sadar kalau putrinya itu mulai kesulitan untuk berdamai dengan pikirannya lagi. Emosi itu kembali mulai menguasai diri Erin.

"Arvin nggak seperti itu sayang, Arvin baik."

"Ayah juga baik, tapi dia pergi."

Anita kebingungan, pengertian apalagi yang harus ia berikan?

"Mama ingin bertanya, apa Erin sayang sama Arvin?"

Erin terdiam, ia menunduk. "Kalau Erin bilang sayang, Erin takut Arvin pergi."

"Enggak sayang, jangan lihat Mama untuk menilai hidup. Kita nggak tahu kalau kamu mungkin seberuntung tante Sarah. Kita nggak tahu kalau mungkin Arvin sayang sama kamu, dan memilih kamu."

Erin membaringkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Anita.
"Erin nggak mungkin seperti tante Sarah, Erin gila! Semua orang pasti jijik!"

Anita memejamkan mata. "Lalu kenapa Erin nggak berusaha sembuh? Kenapa Erin nggak berusaha berdamai dengan diri sendiri?" Anita sadar kalau kata-katanya itu terlalu kasar. Ia hanya merasa lelah dengan semua ini, terlalu bingung. Namun ia benar-benar tak menyangka kalau kata-kata itu justru menjadi titik awal dari semuanya.

"Kalau begitu Erin nggak mau ketemu Arvin sebelum sembuh."

Anita tertegun. Butuh waktu lama ia mematung untuk mengerti makna ucapan Erin.

"Bantu Erin sembuh."

Anita memeluk tubuh Erin yang berbaring itu. Air matanya meluncur tak bisa menahan rasa bahagia yang kini memenehi dadanya. Tuhan.... Terima kasih atas jawaban-Mu ini.

"Pasti sayang, Mama dan Dokter Lena akan selalu berusaha semaksimal mungkin. Kamu janji sama Mama kamu juga harus semangat untuk sembuh."

Erin mengangguk. "Erin sayang Arvin."

Eunoia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang