"LITA!"
Panggilan itu membuat gue bergegas menghampiri Ibu di dapur. Ibu baru aja selesai menata kue-kue yang baru matang ke dalam mika. Selain sebagai ibu rumah tangga, Ibu menjadikan kathering sebagai usaha sampingan. Gak cuma nasi kotak, tapi juga pesanan berupa kue atau sejenisnya.
Usaha ini udah di tekuni Ibu sejak setahun yang lalu. Ayah bekerja sebagai pegawai PT swasta, lalu Ibu membuka kathering untuk sedikit menghambat pengeluaran yang membengkak. Sejak Lusi--kakak perempuan gue kuliah di Universitas Negeri kota Bandung, Ibu selalu rutin mengirimkan uang sebulan sekali. Meski kakak pintar dan penerima beasiswa, tapi tetap saja biaya hidup di bandung nggak murah.
Disinilah tugas gue, kadang ibu nyuruh anterin pesanan yang jaraknya gak terlalu jauh dari rumah. Kalau jauh, maka Ibu sendiri yang akan menghantarnya.
"Udah semua, Buk?"
"Udah," kata Ibu sambil menaruh tiga mika besar berisi kue ke dalam keranjang yang di ikat di belakang sepeda gue.
"Ini kamu antar ke rumah Bu Dewi, ya. Kamu tau kan alamatnya?"
Gue mengangguk. "Berangkat dulu ya, Buk."
"Iya hati-hati," kata Ibu sambil melambaikan tangan ke arah gue yang mulai mengayuh sepeda. Gue emang lebih suka pakai sepeda, padahal di rumah juga ada motor bebek.
Gue tentu tau siapa Bu Dewi dan dimana alamatnya. Bahkan gue gak nyangka bakal nganterin kue kesana. Jaraknya paling cuma satu kilo meter dari komplek tempat tinggal gue. Tapi bukan itu masalahnya.
Sesampainya disana, sambil bawa kue pesanan, gue menekan bel di pintu masuk. Keringet yang berlomba jatuh, gue seka pakai punggung tangan. Menunggu pintu di buka, gue mengamati bangunan menjulang tinggi ini. Rumah bertingkat, memiliki taman bonsai hias, serta air mancur kecil di samping kiri. Persis kayak yang ada di televisi. Gue menoleh ke arah garasi, mobil dan motor besar dengan pemilik sama masih nangkring di tempatnya, menandakan kalau sang pemilik dua kendaraan itu masih berada di rumah.
Seketika gue merasa kecil. Pantas saja cinta gue ditolak. Seharusnya dari awal gue sadar, kalau dari status sosial aja kami berdua jelas berbeda.
Gue tersentak dari lamunan ketika pintu rumah terbuka dan menampilkan laki-laki yang memakai celana pendek dan kaos, serta handuk yang tersampir lehernya. Rambutnya masih basah, kayaknya dia baru selesai mandi.
"Udah cukup mengagumi gue?"
"Eh."
"cari siapa lo?"
"Eum ... cari Tante Dewi, Dik. Mau nganterin pesenan dia."
Diki menurunkan pandangan ke tangan gue yang membawa kue, lalu mengangguk. Dia membalikkan badan sambil berteriak, "Ma, tukang hantar kuenya udah dateng, tuh!"
Gue mengamati punggung Diki yang makin menjauh. Dia nggak berbasa-basi sekedar mempersilakan gue masuk. Gini-gini, gue kan teman sekelasnya juga, jadi apa salahnya dia sedikit menghargai gue dari sekedar tukang hantar kue.
"Eh, kamu pasti Lita, ya?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah mamanya Diki. Tante Dewi menghampiri gue yang mematung di ambang pintu.
Gue tersenyum sambil mengangguk sopan. Lalu menyerahkan tiga mika besar berisi kue bolu pesanannya.
"Terimakasih, ayo masuk dulu, Tante ambilkan uangnya," kata Tante Dewi sambil menerima tiga mika itu sekaligus.
Bahkan Mamanya aja bisa lebih sopan, batin gue.
"Ah, iya tante," jawab gue sambil mengikuti langkahnya.
"Duduk dulu sofa, Tante ke dalam dulu ambil uangnya," Tante Dewi berhenti melangkah, kemudian menoleh. "Oh iya, Lit. Kamu mau minum apa?"
"Gak usah repot-repot, Tan. Ini juga udah mau pulang soalnya mendung."
Padahal sebenernya gue haus banget, tapi udah terlanjur jengkel sama Diki.
Gue duduk di sofa sembari nunggu Tante Dewi. Mata gue menjelajah ke sekeliling ruang tamu, dan berhenti di pigura foto besar dengan potret tiga orang di dalamnya. Sepasang suami istri berdiri dan anak laki-laki menggemaskan yang ada di gendongan ayahnya. Gue mendengus pelan, kecilnya sih memang imut, tapi gedenya minta ditabok pake sandal. Songong banget!
Tak berselang lama, Diki yang udah berpakaian rapi dan wangi melintasi ruang tamu sambil memainkan kunci mobil di jari tangannya. Ia berhenti berjalan dan memandang gue dengan sebelah alis terangkat.
"Ngapain lo masih di rumah gue?"
"Nungguin Tante Dewi."
"Kirain lo mau modus sama gue."
Mendengar itu, gue melengos, Diki melanjutkan langkah. Gue mengelus dada mencoba sabar. Harus bisa tahan emosi, meski yang punya rumah ngeselin parah kayak gitu. Semoga aja Tante Dewi segera muncul supaya gue bisa segera pergi dari rumah ini.
Doa gue terkabul, mamanya Diki datang dan menyerakan uangnya. Gue berterima kasih sambil berpamitan pulang. Tapi baru sampai di depan gerbang rumah, gue terpaku dengan tatapan nanar.
Secepat kilat gue menghampiri sepeda yang tergeletak mengenaskan di samping gerbang. Keranjang yang diikat di boncengannya, pisah. Rinsek gak berbentuk. Sedangkan, body sepeda agak melengkung. Bener-bener kacau. Gue nggak tau apakah sepeda itu masih bisa dinaikin.
Sejurus kemudian, gue mendatangi satpam, satu-satunya orang yang bisa ditanyai saat ini.
"Ini kok sepeda saya kayak abis jatuh dari pohon kelapa lima meter sih, Pak?"
Pak satpam itu menatap sepeda gue sebentar, kemudian menjawab, "Dari ketabrak mobil, Neng!"
"Hah!" kaget gue. "Kok bisa di tabrak mobil?"
"Tadi Den Diki buru-buru, jadi nggak sengaja," ucap Pak satpam lirih.
Gue memejamkan mata kuat-kuat sambil menggigit bibir.
Dasar cowok gak bertanggung jawab, abis nabrak main kabur gitu aja.
Liat aja besok!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Gaje
Teen FictionBahasa dan cerita suka-suka ala Lita. Kalian tau apa yang paling menyakitkan dalam hidup ini, yaitu penolakan! Dan kabar buruknya, gue udah pernah ngerasain itu sebanyak tiga kali. Cewek nembak cowok duluan? Ditolak? Serius, Guys! Mungkin itu...