24. Tantangan Lagi

623 91 6
                                    

Ujian Nasional kelas dua belas telah dilaksanakan. Kini tinggal menunggu waktu pengumuman, mereka udah jarang nongol alias emang udah libur, tinggal mempersiapkan tiket masuk Universitas yang akan dijajaki selanjutnya.

Setelah acara salam perpisahan waktu itu, gue udah gak pernah lagi lihat Kak Cillo. Mungkin lagi ribet ngurusin SNM atau SBMPTN. Gue pikir dia gak akan kesulitan masuk Universitas idaman, mengingat yang gue denger-denger dia termasuk siswa yang pandai.

Yaiyalah, bacaanya aja buku setebel itu. Masih ingat waktu gue ketemu di perpustakaan. Maksud gue ketemu yang kedua, kalau yang pertama dulu, udahlah gak usah diingat-ingat,

Jadi malu. Wkwkwk!

Saat ini gue juga lagi di perpustakaan. Lebih tepatnya temenin Vindi. Tu temen gue kan sebelas dua belas sama Kak Cillo, demen banget kalau suruh baca buku. Kalau gue mah gak usah ditanya, baru baca selembar dua lembar, mata udah membuka lebar gerbang mimpi.

Muehehehe.

Namun, sekarang gue gak kalah dari Vindi. Di tangan udah ada tiga buah buku tebal. Jangan salah sangka, bukan sulap atau sihir gue berubah jadi rajin, tapi karena sebentar lagi kelas sebelas akan menjalani UAS. Sebenernya bukan cuma itu yang memotivasi gue saat ini, melainkan beberapa hari lalu Diki sempet bilang,

"Siapa yang peringkatnya lebih tinggi semester ini, maka dia boleh nentuin nasib hubungan ini."

"Maksudnya?"

"Dih, loading banget, sih. Maksud gue, kalau gue menang, gue yang berhak nentuin hubungan kita bakal lanjut atau putus. Dan yang kalah harus terima."

"Kenapa gue jadi contoh yang kalah?"

"Gitu aja kok dipermasalah."

Gue heran sama Diki. Kenapa tu cowok hobi banget bikin tantangan. Padahal tantangan yang pertama aja belum ketahuan siapa yang menang. Yah, walaupun kayaknya gue yang jadi winner sih, mengingat Diki kelihatan jengkel banget tiap gue deket sama cowok lain. Walau dia selalu bilang itu cuma reaksi, karena dia nggak mau kehilangan harga diri diselingkuhi, tapi siapa yang bisa menebak hati.

Bisa aja kan diam-diam dia naksir sama gue, tapi masih malu-malu kucing. Gede rasa sekali-kali boleh dong, biar gue jadi bahagia dikit, ahihihi.

****

"Ayo masuk!"

Diki menatap gue yang mematung di depan pintu rumahnya. Tu cowok mendengkus, lalu menarik tangan gue, tapi gue segera menariknya kembali,

"Bentar, gue copot sepatu dulu."

Seharusnya dia antar gue balik, tapi Diki malah mengajak gue ke rumahnya. Katanya mau belajar bersama buat UAS. Walaupun gue gak yakin, mengingat seorang Diki gak mungkin serajin itu. Palingan tu cowok kerjaanya game teruuus.

"Hmm," Diki masuk terlebih dulu, setelah mencopot sepatu, gue menyusulnya. Melihat mama Diki, gue langsung menyalami tangannya. Tante Dewi tersenyum, mengusap rambut gue, lalu mengajak gue duduk di sofa, menunggu Diki yang langsung masuk kamar.

"Tante seneng loh kalau kamu sering-sering main ke sini."

"Kenapa gitu, Tante."

"Soalnya Tante gak punya anak perempuan, dan seneng kalau ada anak perempuan yang pinter bikin kue kayak kamu."

Gue menusap telinga, karena pujian dari tante Dewi tersebut. "Ah, Tante bisa aja," gue tersenyum malu-malu. Padahal biasanya malu-maluin, kata dewi batin gue.

Ck, dasar.

"Loh, beneran. Kapan-kapan bolehlah kita bikin kue bareng. Biar Tante bisa ngerasain gimana asyiknya punya anak perempuan."

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang