23. Salam Perpisahan

643 95 15
                                    

Dengan cepat gue keluar dari mobil Diki. Huft, akhirnya berakhir juga penderitaan gue di hari minggu yang suram ini.

"Uy," teriak Diki, menyembulkan kepala di jendela mobil sambil senyum-senyum gaje. "Kapan-kapan ikut gue main lagi, yak!"

"Ogah!" jawab gue ketus sambil masuk ke rumah, kemudian menutup pintu dengan keras. Dari luar, masih terdenger suara cekikikan cowok itu sebelum tergantikan deru mesin mobil yang menjauh.

Keesokan paginya, tuh bocah udah ada di depan rumah lagi. Biasa, dia mau ngasih tebengan sama gue. Sebelumnya gak nolak, lumayan gak perlu keluar duit buat transportasi ke sekolah. Tapi, kalau inget masalah kemarin, gue masih males rasanya ketemu dia.

"Lita, itu loh Diki udah nunggu di depan," teriak ibu dari arah depan.

Gue menghela napas, merapihkan ikat dan jepit rambut, lalu keluar kamar dengan malas. Di ruang tamu, gue memutar bola mata melihat Diki udah nangkring di sana.

"Lama banget, perasaan gitu-gitu doang dandannya," ujar Diki.

Enggak menanggapi, gue menghampiri,menyalami tangan ibu, lalu keluar menuju mobil Diki yang terpakir. Gak berselang lama, cowok itu muncul sambil menggoyangkan kunci di tangannya. Dia membuka mobil, gue menarik napas, lalu masuk ke dalam.

Sampai di sekolah, gue keluar dan berjalan tanpa menunggu Diki. Entahlah, gue lagi males debat pagi ini. Males ngomong banyak juga. Diki kayaknya menyadari itu, karena dia tumben gak banyak omong.

Terdengar suara gedebukan di belakang, sebelum sebuah tangan menggenggam tangan gue. Udah tau siapa pelakunya, gue cuma bilang,

"Apasih gandeng-gandeng kayak lagi nyebrang jalan aja."

"Memang gak boleh?"

"Ya malu, diliatin orang-orang tuh."

"Gue aja yang populer b aja, kenapa jadi lo yang malu?"

Aih, mulai lagi deh narsisnya.

****

Biasanya sesi amanat pembina upacara adalah hal yang paling membosankan bagi gue, dan mungkin juga murid lain. Belum lagi kalau kepsek yang ceramah, bisa setengah jam lebih, bikin murid terkantuk-kantuk, bahkan beberapa siswi pada gelempangan. Tapi, sesi kali ini gak kerasa karena mata gue asik mandangin kak Cillo yang lagi jadi pemimpin upacara.

Ternyata cowok pendiam itu gagah juga ya berdiri di depan. Bahkan dia kelihatan tegas banget bicaranya, dan tatapan tajam itu bikin jiwa rapuh ini  berguncang. Walau ehem, katanya gue udah punya pacar, tapi gak ada salahnya puas-puasin lihat mantan gebetan itu sekarang.

Masalahnya, ini adalah upacara terakhir anak kelas dua belas sebelum senin depan mereka melangsungkan ujian nasional, yang artinya gue sebagai anak kelas sebelas belum tentu bakal ketemu dia lagi.

Aihh, sedih sih. Setidaknya kak Cillo pernah mengisi ruang kosong di hati ini. Ceilah, sok puitis pulak gue ini. Padahal nilai bahasa Indonesia masih sering remed. Ish, udahlah gak usah dibahas, bikin malu aja.

Kembali lagi soal kak Cillo, terlihat keringat yang bercucuran di dahi cowok itu. Pingin banget gue lari ke depan dan lap keringat itu pake tissu yang gue rampas dari saku seragam Siska. Tu cewek menor yang berdiri di samping gue, mencak-mencak dan mungkin bakal cakar muka gue andai gak dilihatin terus sama guru killer yang berjaga di belakang barisan.

"Awas lo ya," ancam Siska lirih sambil mengacungkan kepalan tangan, yang cuma gue bales sama juluran lidah, lalu membekap mulut menahan tawa.

Tak terasa ceramah kepala sekolah yang membahas tentang UN itu sudah berakhir, dan kembali terdengar suara indah kak Cillo menertibkan barisan. Gue senyum-senyum dan saat menoleh, ternyata Diki lihatin gue terus.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang