42. Maaf

556 73 11
                                    

Lambat lain hubungan Dino dan Diki semakin membaik. Tidak jarang gue perhatikan mereka kembali mengobrol. Enggak sia-sia juga gue menanggalkan malu untuk membuat pertemanan mereka kembali bersatu.

Dengan begini kan gue jadi lega. Gue juga mulai mengurangi intensitas kedekatan gue dan Dino. Saat di kelas pun gue jadi lebih banyak kumpul dengan teman-teman cewek. Walau gue muak tiap kali mereka mulai menggosip atau membicarakan tentang skincare dan make up terbaru. Bukan apa-apa, gue cuma kurang pro dengan pengetahuan tentang itu.

Semua itu agar Diki dan Dino enggak salah paham lagi. Meski gue enggak ada hubungan apa-apa lagi dengan Diki, tapi enggak ada salahnya Dino menjaga perasaan cowok itu dengan tidak terlalu dekat dengan mantannya. Dino memang enggak pernah mempermasahkan ini, tapi gue merasa perlu sadar diri.

Lagi main game offline zombie tsunami, Dino yang kayaknya abis nongkrong di kantin duduk di samping. Gue enggak sampai berlebihan pindah tempat, hanya sedikit menjaga jarak supaya Dino bisa lebih banyak kumpul dengan teman-temannya.

Terbukti sejak gue jarang ke kantin bareng dia, Dino jadi lebih sering bareng teman-temannya. Gue akui dia cowok yang cukup baik, berbeda penilaian saat dulu belum banyak interaksi bersama. Mungkin karena belum terlalu mengenal dia.

Dino mengintip permainan gue lalu terkekeh. "Main tuh yang online, biar kita bisa mabar gitu."

"Emang Lo mau mabar sama gue?"

"Em, tergantung sih. Tapi kalau Lo yang masih noob gini, kayaknya enggak deh. Malu lah, masa gue lawan newbie." Dia tergelak, gue meninju lengannya.

"Ah, gara-gara Lo kebanyakan omong sih, zombie gue jadi kecemplung jurang, kan."

Gue diketawain lagi. Emang tu cowok receh banget humornya. Gue menoleh setelah mematikan game.

"Emang cewek online itu pro banget mainnya?"

"Woo ya jelas. Kita sering satu tim dan dia benar-benar enggak nyusahin. Jadi gue enggak perlu jaga berlebihan."

"Udah vidcall?"

Dino berdecak. "Dia belum mau, Lit. Katanya belum siap gitu, yah gue sih tunggu aja dia sampai siap."

"Dan Lo kudu siap dengan kemungkinan terburuk."

"Maksudnya hode?"

Gue mengangguk. Dino menghela napas. "Gue sih ngerinya juga itu. Tapi, kita pernah kok telfonan sebentar, dan dari suaranya sih emang cewek. Tapi kalau semisal gue ketipu, yah cuma bisa terima konsekuensi aja kenal orang di sosmed. Mungkin kalau ternyata dia laki-laki, gue bisa jadikan dia teman."

Gue mengacungkan jempol. "Good, asal kalau dia beneran makhluk berbatang, Lo jangan sampai kebablasan suka."

"Gila aja, gue masih straight kali."

Giliran gue yang terkekeh melihat rautnya yang cemberut. Lalu kami diam kembali menekuri ponsel masing-masing. Enggak lama, guru pengampu mata pelajaran datang. Gue segera berbalik untuk menyiapkan posisi.

"Pstttt ... "

Gue menoleh menggedikkan dagu.

"Nanti pulang sekolah jangan langsung pulang, ya," bisiknya.

"Emangnya kenapa?"

"Udah, nanti aja," jawabnya kembali menghadap pandangan ke depan, menjawab ketika guru itu mengucap salam.

*"""*

Pulang sekolah gue bener-bener enggak langsung pulang. Gue menunggu di luar, sementara Dino masih menyalin catatan pelajaran di papan tulis. Sebenarnya mau dia foto saja, tapi gue memaksanya untuk menulis. Masalahnya jika di foto gue yakin dia enggak akan kembali membaca apalagi menyalinnya.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang