7. Kak Cillo

843 70 2
                                    

"Menurut lo dia punya temen nggak sih?" tanya gue sambil mengikuti Dara dan Vindi masuk ke perpustakaan.

"Ya punya lah, menurut lo dia tinggal di hutan dan nggak punya temen sama sekali," jawab Dara.

"Tapi yang gue liat kerjaanya cuma ke perpus dan nggak pernah liat tuh dia pergi ke kentin," heran gue bercampur penasaran.

"Lo nggak pernah liat bukan berarti dia nggak pernah ke kantin. Bisa aja kan waktu lo ke kantin, dia ke toilet. Waktu dia ke kantin, lo yang ke toilet".

Dari ujung pintu masuk, kami bertiga memperhatikan Kak Cillo--kakak kelas yang terkenal cuek dan pendiam, sedang membaca buku di meja pojok perpus.

"Dia tuh pendiem banget, ya," komentar gue.

Vindi memadang gue dan Dara dengan tatapan sinis sebelum memilih berjalan lebih dulu menuju rak buku. "Udah ah nggak usah ngosip," katanya.

"Bukannya gitu, Vin, tapi gue cuma penasaran aja kenapa sih dia itu suka menyendiri?" kata gue sembari meneruskan langkah.

"Mungkin karena lo belom kenal," jawab Vindi.

Dara terdiam sejenak sebelum berkata, "Kalau menurut gue sih, Kak Tio itu tipe cowok Introvet. Dia seseorang lebih suka menyendiri daripada keramaian. Biasanya orang berkribadian introvet cenderung menghindari keraimaian karena dia emang merasa kurang nyaman. Itu juga yang membuat para introvet kebanyakan pendiam dan tertutup," jelas Dara panjang lebar, tapi dengan suara lirih.

Gue mengangguk-angguk sok paham.

"Apa menurut lo Vindi termasuk seorang introvet?" tunjuk gue ke Vindi yang sedang memilih buku di rak novel, berjarak dua rak dari tempat gue dan Dara berdiri.

"Mungkin," Dara mengangguk. "Orang macam dia memang harus kita rengkuh, bukannya ditinggalin. Bukan berarti orang pendiam nggak butuh temen, dia tetap butuh temen kok dalam hidupnya,"

"..., Mayoritas pembullyan yang terjadi di dunia, terjadi pada mereka yang pendiam dan tertutup, karena mereka di anggap berbeda. Anggapan itu lah yang bikin si pendiam kadang nggak punya teman, dikucilkan, dibenci, dan dianggap aneh, bahkan sampai dibully secara verba maupun non verba, " Dara tersenyum getir.

"Kesalahan terbesar manusia adalah, hanya menilai seseorang dari satu sisi saja tanpa berusaha mencari tau bagamaina seseorang itu dari sisi yang lainnya," lanjut Dara.

Gue mendengarkan penjelasan Dara dalam diam tanpa banyak berkomentar. Biasanya gue bakal nyuruh dia diem atau langsung nutup mulutnya biar tu anak nggak kebanyakan omong. Tapi kali ini Dara benar, jadi gue setuju aja. Terkadang emang manusia cuma bisa menilai tanpa berusaha mencari kebenaran atas penilaiannya itu, termasuk gue. Gini-gini gue kan tetep manusia.

"Menurut gue kalau di liat-liat lagi Kak Cillo itu mirip Rangga, ya?" kata Dara sambil memandang ke arah Kak Cillo yang masih berkutat dengan buku yang dibaca, tanpa peduli dengan suasana sekitar.

Dari sela rak buku, gue ikut menoleh ke arah cowok itu. "Rangga?"

"Iya yang di film AADC itu loh."

Ngomongin soal Rangga dan AADC aka Ada Apa Dengan Cinta, gue langsung keinget Bang Alfi. Tu orang kan juga gue julukin babang Rangga KW. Jadi kangen, udah beberapa hari ini Bang Alfi enggak ngenek di bus. Sebelumnya dia emang udah pamit. Katanya sibuk, dan mau libur beberapa hari.

"Menurut lo dia cocok nggak jadi Rangga versi nyata? Sifat pendiemnya, rajin ke perpusnya, dan wajahnya yang manis itu selalu ngingetin gue sama babang Rangga," kata Dara senyum-senyum gaje mirip pasien rumah sakit jiwa.

Gue menyerengit geli. "Dasar ganjen!"

"Ganjen ya? Hmm." Dara mengetukkan jarinya di pelipis seolah berpikir. " Oh ya, alkisah ada satu cerita tragis. Suatu hari ada seorang gadis belia yang menyatakan cinta pada laki-laki pujaan hatinya di perpustakaan dan berujung penolakan. Tamat." Dara bertepuk tangan kecil. "Menarik nggak menurut lo?"

Gue menjawab dengan raut datar. "Menarik banget sampek gue susah berkata-kata!"

"Hahaha." Dara tertawa. Segera dia membekap mulut untuk meredam suara tawanya.

Mengobrol dengan Dara bikin gue sampai lupa apa tujuan gue masuk ke perpustakaan ini. Tadinya gue berniat pinjam buku paket biologi buat keperluan remedial.

Bay the way, gue jadi teringat sama orang yang menyebabkan remedi. Seketika mood hancur dan malas kembali ke kelas. Jadi setelah dapat buku itu, gue pun tinggal sebentar di perpus ketika tak lama tangan gue ditarik Dara menuju meja paling pojok, di mana Kak Cillo berada.

Tanpa aba-aba Dara pun duduk bersila di sebrang meja Kak Cillo sembari memaksa gue duduk di sana juga. "Boleh kan Kak Kita duduk di sini?" tanya Dara basa basi busuk.

Dia mengangkat kepalanya sedikit dari bukunya lalu mengangguk sekali. Tapi nggak lama kemudian dia mengangkat kepala lagi. Ekspresi wajahnya terlihat agak kerkejut.

Seolah menjawab keterkejutan Tio, Ghana pun tiba-tiba berkata, "Iya, Kak ini Lita cewek yang wak--"

Gue segera membekap mulut Dara sebelum cewek bermulut comel itu meneruskan ucapanya.

"Maaf Kak." Gue melemparkan senyum. Entah kenapa gue merasa agak canggung, mengingat penolakan tanpa kata yang dilakukan Kak Cillo waktu itu.

"Yaudah kita permisi dulu." masih tetap membekap mulut Dara, gue hampir beranjak pergi ketika suara mendengar Kak Cillo berkata,

"Kenapa buru-buru?"

Suara bass lirih yang menyapa gendang telinga itu membuat gue mengangguk spontan, dan melepas bekapan dari mulut Dara. Astaga, baru kali ini gue denger suara Kak Cillo. Bahkan, saat menolak dulu, cowok itu nggak mengatakan apapun.

"Lo tu jadi temen tega banget sih, kalo gue mati kehabisan napas gimana?" omel Dara sembari menarik napas.

"Dan nyatanya lo masih hidup, kan?"

Dara melengos kemudian memutar matanya ke arah Kak Cillo.

"Kakak kenal cewek ini?" telunjuk Dara mengarah ke gue.

Dia menggeleng. "Enggak."

Namun, jawaban itu bikin Dara kembali bertanya. "Bukannya dia yang nembak kakak di perpus waktu itu?"

Deg! Gue melotot. Apa-apaan ini?!

"Ha!" Gue menahan napas. Rasanya gue pengen mencoret nama Dara dari daftar sahabat terbaik gue.

Kak Cillo menggedikkan bahu. "Gue udah lupain kok."

Jawaban bernada tenang itu bikin gue lega sekaligus kecewa. Lega karena Kak Cillo nggak membahasnya lagi, dan kecewa karena merasa terlalu mudah diupakan.

"Berarti sekarang kita boleh berteman dong, Kak." Gue mengulurkan tangan di atas meja.

Kak Cillo mengangkat sebelah alis sebelum tersenyum tipis, dan menyambut uluran tangan gue. Ya Tuhan senyumnya, manis banget. Tapi entah kenapa gue nggak ngerasain apa-apa. Mungkin karena pernah ditolak, jadi gue ngerasanya biasa aja. Nggak tau kalo nanti sore. Lah, napa jadi kayak si Dilan. Haha, bercanda.

"Boleh."

"Kak, mau kenalan juga, boleh?"

Seketika momen yang seharusnya dikasih lope-lope kayak di TV itupun terhenti. Dasar burung Dara perusak momen.

*****

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang