38. Semakin Dekat, Semakin Bermasalah

516 64 6
                                    

Gue tersenyum menatap dari kejauhan Karin dan Galih yang akhirnya bisa duduk semeja makan berdua lagi. Enggak sia-sia ternyata gue merekrut Diki untuk membatu misi mempertemukan mereka. Dia yang bertugas ngajak Karin ke warung bakso ini, sementara gue ngajak Galih.

Masih teringat saat kami makan bertempat di sini. Gue pikir tempat ini akan sedikit bersejarah bagi mereka. Sebenarnya kayak lebih romantis lagi kalau mereka bertemu di kafe atau restoran dengan nuansa remaja, tapi gue tahu kalau Galih bukan orang berada yang dompetnya selalu tebal, jadi gue takut harga dirinya bakal koyak kalau sampai Karin yang bayarin makan.

Sudah pernah Galih cerita perihal itu, dan dari nada bicaranya tersirat kalau ia benar-benar malu. Dan jangan sampai itu terulang lagi hari ini.

"Hey!" Terjingkat saat Diki menepuk pundak gue.

"Udah ketemu kan mereka, yok balik."

Gue kembali menoleh ke arah mereka.

"Apa mau sekalian masuk warung beli bakso? Kita bisa double date lagi kayak waktu itu."

"Udah enggak usah, biar mereka bicara dari ke hati berdua. Yok balik," ujar gue mendorong punggung Diki.

"Lo sok-sok'an mau memperbaiki hubungan orang gini, memang enggak berniat memperbaiki hubungan Lo sendiri?"

"Hah?" Gue mendongak ke arahnya. "Hubungan apa? Hubungan dengan siapa yang mesti gue perbaiki?" tanya gue pura-pura bego.

Menaiki motor Diki, gue minta diantar pulang. Dia enggak menjawab, memakai helm, lalu memakaikan helm ke gue, dia pun melajukan motornya agak ngebut.

Gue enggak protes apa-apa, cuma diem sepanjang jalan. Bukannya sok, tapi yang enggak gue suka kalau naik motor adalah cara nyetirnya yang enggak santai. Belum lagi model motornya yang besar dengan jok belakang menyorong ke depan, bikin gue enggak  nyaman tiap dibonceng dia pakai motor.

Enggak ada percakapan malah bikin gue ngelamun. Masih mikirin kira-kira Galih sama Karin nyaman enggak, ya. Ah, moga-moga mereka baik-baik saja berdua. Gue pun tersadar ketika Diki mengendarai bukan ke arah rumah gue.

Dia membelokkan motor ke taman kota. Taman yang masih gue ingat sebagai saksi Diki mengakhiri hubungan sama gue. Ngapain sih dia ngajak gue lagi ke sini. Enggak jelas banget ini cowok.

"Gue kan minta diantar pulang, kok malah ke sini?"

Dia menarik tangan gue. "Udah ikut aja."

Gue melepas tangannya. "Gak mau, mau ngapain dulu? Gue enggak suka ketidakjelasan ini!""

Cowok itu terkekeh. Duh, kalau dia ketawa tuh kelihatan loh gantengnya. Daripada menyebalkan kayak biasanya.

"Yaudah ayok gue bikin jelas."

Aduh dia mau ngapain, ya?

Hey, kok gue deg-degan, ya. Oke, tenang, Lita. Berapa kali saja Lo geer dan hanya berakhir ngenes. Pokoknya gue harus stay kalem.

Gue ikutin ke mana dia pergi dan berhenti di bawah pohon ini lagi. Mau ngapain sih nih bocah? Kenapa harus bawah di sini sih yang selalu jadi persinggahan gue tiap kali berkunjung ke taman ini. Dia tempat ini gue pernah di-php-in, di sini pula gue pernah diputusin. Dan sekarang?

Tahan.

"Lo duduk di sini dulu, yah. Gue pergi bentar."

Sebelum gue bertanya dia sudah terbirit-birit pergi. Mau ke mana sih dia? Kok misterius banget. Apa dia bakal ngasih kejutan buat gue? Apa dia bakal beliin es krim buat gue. Apa dia mau beli bunga terus tiba-tiba ada di belakang gue kayak di drama-drama romantis itu.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang