32. Pisah Kelas

524 80 12
                                    

Padahal gue cuma ngawur soal hadiah,tapi tenyata Diki bener-bener nyiapin kejutan buat gue. Siapa yang terpikir kalau bakal dateng mobil pic up yang di gerobaknya membawa seunit sepeda baru.

Ya, kalian gak salah baca. Sepeda itu berwarna pink dan ada keranjang depan bewarna hitam. Gue cuma natap cengo saat pengemudi mobil menurunkan sepeda itu di depan rumah gue. Ini maksudnya apaan sih? Dan saat gue tanyakan pada Diki, dengan santainya dia jawab,

"Ini sebagai rasa pertanggungjawaban gue tempo dulu saat gue nggak sengaja nabrak sepeda but-maksud gue sepeda elo."

Ha, kejadian beberapa bulan lalu. Gue tentu masih inget saat sepeda gue ringsek dirambrak mobilnya. Kenapa baru sekarang? Oh, nggak, pertanyaan yang lebih tepat, untuk apa dia repot-repot beliin baru sementara gue udah gak minta.

Oke, gue dulu memang sangat menuntut tanggungjawabnya, tapi cuma buat benerin aja. Lagipula sepeda itu udah lebih baik setelah bapak membawanya ke bengkel.

Kejadian itu yang menjadi awal perseteruan gue dan Diki. Sebenernya gue udah gak mau nginget lagi, tapi Diki malah ngelakuin ini. Kenapa sih dia itu susah sekali ditebak? Gue tetep kudu bersikap datar. Gue kan ceritanya masih marah sama dia gara-gara difitnah di rumahnya.

"Nggak perlu. Lo bawa pulang aja, lagipula gue nggak terlalu suka warna pung. Ew," kata gue sok cold.

"Lo gak suka warnanya? Mau warna apa, mumpung mamangnya masih di sini?"

Uh, mentang-mentang orang kaya. Ringan banget ya kalau ngomong. Kek gak ada beban gitu.

"Nggak usah."

"Kenapa?"

"Gue udah ikhlasin."

"Tapi ini sebagai tanggungjawab gue, biar gue nggak terus-terusan dihantui rasa bersalah."

Dihantui rasa bersalah? Pfttt, gue nggak yakin Diki ngerasain hal itu. Aha, ini pasti rencana barunya yang gue nggak tau bermaksud buat apa.

Gue hendak kembali ke rumah ketika Diki memegang tangan gue, nggak membiarkan gue berpindah sesentipun. Gue melotot padanya, dia balik natap gue. "Lit, gue mohon terima sepeda ini. Kalaupun gue bawa pulang, cuma bakal mubazir. Masa cowo naik sepeda pink."

"Nyokap lo kan ada."

"Lit," tatapnya memohon. Dia menarik sebelah tangan gue yang bebas. Gue melirik mas-mas yang nganterin sepeda itu. Dia cuma diem cengo natap kami. Mungkin merasa lebay dengan yang dilakukan Diki.

"Terima aja ya, Lit. Ini juga sebagai permintaan maaf gue buat ... "

"Buat apa?"

Diki mengembuskan napas. "Kejadian di rumah gue," katanya lirih, lalu melengos. Seketika gue menarik tangan.

"Aha, lo akhirnya ngaku, kan!" tunjuk gue, nggak perduli mas-mas itu masih ngelihatin kami.

Diki cuma diem natap gue.

"Kenapa lo ngerencanain itu, Dik. Gue salah apa sama lo?"

"Gue nggak bermaksud ngerencanain itu!"

"Terus maksud lo apa, ha?!"

"Ya, gue nggak punya maksud apa-apa. Gue emang mau mesen kue ibu lo, karena gue suka rasanya. Tapi ... "

"Tapi apa?"

Tatapan matanya menajam. "Kenapa lo harus sama Galih saat nganterin kue itu?"

Jadi, masalahnya disitu. Apa Diki beneran cemburu? Jadi, rencana gue waktu itu bisa dibilang berhasil dong.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang