37. Suka-Suka Gue

538 77 12
                                    

Tanpa ada tangis atau adegan lebay lain, gue melambaikan tangan ke kakak. Kak Lusi pun membalas lambaian itu dari balik jendela bus yang semakin menjauh. Seharusnya ini jadi adegan dramatis, tapi enggak bagi gue, meski dalam hati agak merasa kehilangan. Soalnya enggak tahu berapa lama lagi bisa bertemu kakak. Meski orangnya menyebalkan, tapi dia pendengar yang baik, walau curhatanya gue ulang-ulang.

"Yok pulang," kata cowok yang bantu bawain barang-barang kakak menuju halte. Siapa lagi kalau bukan babang ganteng aka bang Alfi. Moga beneran jadi kakak ipar gue. Aamiin.

"Sedih banget?" tanyanya.

"B aja sih, hehe."

"Kalau Abang gimana?" tanya gue balik.

"Loh, kok gue?"

"Gue kira kalian ada hubungan apa gitu?"

Bang Alfi ketawa. "Enggak kok, kita temen aja," jawanya sambil jalan di samping gue. Biasa dia mau nganterin sampai depan rumah. Padahal rumah gue enggak jauh dari halte. Cuma berjarak setengah km dari toko klontong sebrang jalan itu.

"Yah enggak apa-apa. Berawal dari temen jadi demen kan asik tuh."

"Kalau demen sama adeknya boleh gak?"

Gue berhenti melangkah, lalu mendongak ke arahnya. Bang Alfi terkekeh seraya mengangkat tangannya.

"Hehe, bercanda. Gue tau kok kalau lo cuma anggap gue Abang. Kek yang pernah Lo bilang, Lo pengen punya kakak cowok."

"Emm, enggak keberatan kan?"

Cowok itu senyum tipis sambil angguk, lalu mengusap rambut gue. Gue selalu suka tiap dia ngelakuin itu. Kayak berasa punya Abang beneran. "Enggak apa, santai aja."

"Sip!" Gue mengajaknya tos.

Sesampainya di depan rumah, bang Alfi kayak biasa juga enggak mau gue tawari masuk. Langsung pamit pulang, katanya udah sore, dia juga mau siap-siap kuliah nanti malam.

Masuk rumah langsung terkejut lihat Diki sudah nangkring di ruang tamu. Heran banget sama tu cowok, kalau datang selalu tiba-tiba bikin gue syok. Ya, enggak se-lebay itu juga, tapi dia memang jarang konfirmasi kalau mau datang ke rumah. Memangnya ngapain sih dia ke sini, bukannya semalam kita masih marahan.

"Mau ke mana Lo? Udah nunggu lama malah mau main tinggal aja."

"Maaf Anda tak kasat mata."

"Dih," dia memutar bola mata. "Sini duduk," katanya.

"Ih, kok jadi Lo yang nyuruh-nyuruh. Ini kan rumah gue."

"Bisa enggak sih kalau gue ngomong nggak dibantah?" tanyanya dengan mata menajam.

Gue menggerutu lalu mengambil duduk di kursi yang agak jauh dari dia. Kalau ketemu Diki pasti ujungnya adu bacot. Sudah ketebak duluan.

"Dari mana?" tanyanya.

"Nganterin kakak."

"Oh."

"Kenapa?"

"Enggak apa-apa, tapi keknya seru yah nganterin kakak sama pacar. Pulangnya dianter jalan kaki, ih romantis."

"Apaan sih, suka-suka dong. Dan asal Lo tahu dia bukan pacar gue." Ih, pengen gue getok ni kepala. Ngapain sih gue mesti ngejelasin sama dia.

"Oh."

"Ya."

"Eh iya gue ingat, dia kan cowok yang udah kerja dan bisa biayain kuliah sendiri."

"Kalau kenyataanya iya memangnya kenapa?"

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang