34. Omong Kosong

592 77 20
                                    

Sore ini gue udah duduk di halte, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Dia adalah orang spesial, orang yang udah gue anggap abang. Siapa lagi kalau bukan bang Alfi.

Udah lama nggak ketemu sama dia. Setelah masuk sekolah dan kembali naik bus pun, bang Alfi udah nggak ngenek lagi di sana. Ternyata setelah gue tanya, abang ganteng itu udah keterima kerja di PT. Gue sih bersyukur, dia dapat kerjaan yang lebih memadai dibading jadi kenek bus. Setidaknya penghasilannya cukup untuk dikasih ke keluarga dan buat biaya kuliah.

Kemarin malam di via whatsapp, dia ngajak gue ketemuan, mau ditraktir bakso buat ngerayain pencapaian barunya. Sebenarnya alasan utama karena dia kangen katanya. Pengen ngobrol langsung. Gue pun juga kangen sama dia. Dulu emang hampir tiap hari ketemu. Ngbrol plus curhat di bus. Bahkan, bangku depan selalu dikosongin, katanya khusus buat gue. Lalu, sejak pacaran sama Diki, nggak ketemu lagi karena dianter-jemput sama cowok itu.

Ish, kenapa nginget Diki lagi sih. Males banget gue. Tadi aja dia abis bikin story chat-nya sama cewek. Ih, alay banget nggak sih? Chat aja pake dipamerin. Norak. Pengen gue blokir lagi, tapi kok kesannya gue pengecut banget. Ah, bodo ah. Gue kan mau jalan sama bang Alfi, jadi bawaannya harus happy.

Sambil nunggu, gue mainin hp. Motret-motret sekitar yang menurut gue menarik. Sampai ketika suara bariton membuat gue mendongak.

"Udah lama?" ujarnya sembari duduk di samping gue.

"Ehehe, paling sekitar setengah jam."

"Beneran? Wah, maaf ya, gue baru balik kerja. Gue pikir waktu lo WA, baru mau otw mandi."

"Enak aja, gue mah orangnya konsiaten, Bang!"

Bang Alfi nyengir. "Iya-iya, maaf deh."

Gue mengibaskan tangan. "Ah, nggak masalah. Santai aja."

Menoleh kanan kiri, gue pun bertanya, "Btw, kita mau naik apa?"

"Kan nunggunya di halte, masa mau naik pesawat?"

"Ya kirain gue mau diboceng naik apa gitu?"

"Hehe, maaf ya, gue cuma bisa ngajak naik angkot doang."

Berdecak, gue tinju pelan tangannya. "Bercanda ih, kayak gak biasanya aja. Lama gak ketemu malah bawaanya serius."

"Ya maap."

"Ih, maap mulu. Nggak sekalian minal aidzin walfaizin?"

"Haha, dasar!"

**

"Eh, jangan banyak-banyak, Bang, sambelnya, ntar perut lo mules loh."

"Udah biasa," jawabnya santai sambil meletakkan sendok setelah membubuhkan tiga sendok sambal ke dalam kuah.

Gue menelan ludah melihat mangkok bakso bang Alfi. Kuahnya tampak hijau karena hanya diberi sambal tanpa saos ataupun kecap. Katanya, itu seleranya kalau makan bakso.

"Hehe, perdana neraktir lo makan, malah cuma bakso pinggir jalan."

Gue memutar bola mata. "Alah, Bang-Bang, kaga usah sungkan. Jangankan bakso, ditraktir kuaci aja gue udah seneng. Slow kalau sama gue mah. Nggak ada duit buat bayar, kita cuci piring."

Dia terkekeh.

"Nah, kalo ketawa gitu kan tambah ganteng!"

Bang Alfi natap gue dengan bola mata hitamnya. Meskipun gak sedramatis kek di film-film, tapi ini cukup bikin gue merinding, Cuy.

Walaupun gue nggak pernah nyimpen perasaan lebih, tapi kalau ditatap begini kan jadi nervous. Sendok di tangan sengaja gue pukulin sekali di mangkok, bikin bang Alfi langsung mengedipkan matanya.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang