Lo tunggu di gerbang ya, ntar gue jemput
Gue memasukkan hape usai membalas pesan dari Galih. Pandangan kembali teralih ke depan. Ketika guru mengakhiri pelajaran dan keluar dari kelas, gue pun membereskan bawaan, dan segera berjalan menuju gerbang.
Sepulang sekolah ini Galih mau mampir ke SMA Mulya Bangsa dulu buat jemput gue. Tadinya dia minta tolong buat nemenin ke toko sepatu, soalnya sepatu bolanya jebol. Tapi pas gue bilang gak bisa karena harus ke klinik, Galih malah nawarin nganter dan sekalian jenguk katanya.
Gue melihat waktu di hape, udah hampir setengah jam gue nunggu. Ke mana sih dia? Ah, mungkin jam pulang sekolahnya beda kali yak sama sekolah gue. Atau bisa juga dia kejebak macet. Yah, walaupun jarak sekolah kami gak jauh-jauh banget, tapi namanya juga jalanan Jakarta, mana bisa ditebak.
"Nungguin siapa lo?" tanya seseorang seraya membuka helm-nya. Siapa lagi kalau bukan si Diki. Jangan tanya kenapa dia bisa pakai motor. Cowok itu kan ganti kendaraan udah kayak ganti celana dalam. Eh!
"Galih," jawab gue pendek. Jadi inget kejadian di kantin, pas Diki maksa gue nemenin tu cowok makan. Padahal udah dibilang gak mau, tapi tetep aja maksa. Kayaknya sifat seenaknya emang udah mendarah daging dalam tubuhnya.
"Ngapain nunggu Galih?"
Dih, kepo banget sih.
"Katanya dia mau ngaterin gue ke klinik."
"Oh," Diki mengangguk-angguk. "Nyokap lo balik kan hari ini?"
"Iya."
"Yaudah gak usah nunggu Galih, yok gue anterin."
Gue menatapnya. "Nggak usah repot-repot, makasih. Udah terlanjur janjian juga sama Galih."
"Udah ayok. Dikasih tumpangan gratis, kok malah sok nolak. Padahal cewe laen pada antri biar bisa ada diboncengan gue."
"Dih, kok lo maksa sih?"
"Bukannya gitu, gue cuma merasa sebagai cowok harus bertanggung jawab. Kemarin kan gue yang nganter, makanya sekarang gue pula yang harus jemput."
"Gausah, makasih. Lo pulang aja sono, biar gue sama Galih aja."
"Terus lo, Galih, sama nyokap lo boceng tiga, gitu? Konyol!"
"Ya sama aja, Bambank. Kalopun gue sama lo. Kan sekarang lo bawa motor juga."
"Itu mah gampang, bisa pulang dulu ke rumah ambil mobil. Nggak usah kayak orang susah sih."
Gue udah mau jawab ketika suara motor berhenti mengalihkan perhatian gue. Ternyata Galih. Cowok itu senyum sambil ngasihin helm.
Lah, berasa kang ojek aja dia. Wkwk.
Gue pun senyum ke Diki sambil naik ke boncengan Galih. "Duluan ya, Dik."
Cowok itu cuma melengos.
*
Bener kata Diki. Saat ini, gue, Galih, bapak, dan ibu lagi di depan klinik, mikirin kendaraan apa yang pas buat bawa kami pulang.
Emang sih sekarang udah era modern. Gak perlu lagi banyak mikir, tinggal chit chat, dan tumpangan pun datang.
Masalahnya, hape gue itu cuma android biasa. Ram-nya pun gak gede, jadi gak muat aplikasi banyak. Karena gue ngerasa nggak butuh-butuh banget transportasi online, makanya gue gak instal aplikasi itu.
Gue menoleh ke ibu, meskipun katanya udah sehat, tapi kalau dilihat dari raut wajah, ibu masih perlu istirahat yang cukup. Ya memang jarak rumah dan klinik gak cuma sekitar dua kilo. Tapi gak mungkin kan gue ajak ibu jalan kaki. Bisa pingsan di jalan.
Gue menuju ke Galih yang berdiri gak jauh dari kami. Kali aja tu cowok punya aplikasi ojek jaket ijo. Setelah gue tanya, ternyata dia juga gak punya. Aih, ngapa jadi rumit gini sih, coba tadi gue terima tawaran Diki.
Eh, gak-gak. Gue menggeleng cepat.
"Kenapa?" tanya Galih.
"Gapapa, hehe," gue meringis.
"Gue punya cara," katanya setelah terdiam beberapa saat.
"Apakah itu?"
"Gimana kalo gue anterin kalian bertiga bergiliran?"
"Maksudnya?" tanya gue belum mudeng apa yang dia maksud.
"Gini loh, gue anterin nyokap lo balik dulu. Abis itu bokap lo. Dan terakhir elo. Ya pokoknya satu-satu lah."
Gue menatapnya. "Emang lo nggak masalah bolak-balik kayak setrikaan gitu?"
Galih senyum. "Apa sih yang enggak buat lo."
Aww, gue tersipu, Gaes. Kalau kayak di film, mungkin muka gue udah ada merah-merahnya gitu, atau lope-lope. Baru kali ini loh ada cowok yang ngucap kayak gitu. Jangan-jangan ....
"Kita kan temen," lanjutnya sambil nepuk pelan bahu gue dua kali.
Ck, udah geer. Gue merapatkan bibir, lalu mendatangi ibu, tanya apa ibu kuat kalau diboceng pake motor. Begitu ibu mantep jawab iya, gue pun kembali ke Galih.
Dengan perlahan gue bantu ibu naik ke bencengan Galih. "Hati-hati," ucap gur, Galih mengacungkan jempol.
Waktu berlalu, gue nggak tau berapa menit, yang jelas gue ngerasanya lumayan lama. Mungkin Galih bawa motornya pelan-pelan. Gak kayak kalau gonceng gue, palingan lima menit sampai, soalnya tu cowok semaunya. Kadang aja sampai nabrak baju atau kubangan jalan. Alhasil lengannya pun jadi sasaran cubitan gue.
Melihat dia datang, gue pun mengahampiri. Gue panggil bapak, tapi bapak ngacungin jepol, "Kamu anter Lita aja, biar bapak cari pangkalan ojek sekitar sini, atau jalan kaki gak masalah. Gak terlalu jauh juga."
Karena bapak bilang gitu, yaudah gue langsung naik ke boncengan motornya. Sampai di rumah, gue ajak Galih masuk.
"Gue langsung pulang aja, Lit."
"Udah ayok masuk, ngobrol-ngobrol dulu, minum-minum dulu, lo pasti capek bolak balik."
Akhirnya setelah gue bujuk, dia pun setuju. Galih duduk di ruang tamu, sementara gue ke dapur, setelah mengintip ibu yang udah berbaring di kasur.
Kembali ke ruang tamu, gue membawa es teh dan setoples cemilan kue kering.
"Elah, repot-repot lo."
"Tapi lo haus kan?"
"Iya sih, hehe," jawabnya sambil menandaskan segelas es teh.
"Nih, cobain, ini gue buatan gue loh."
"Serius? Masa lo bisa masak?" Galih menatap gue dengan alis terangkat.
Gue mendorong bahunya. "Ngejek lo. Gini-gini gue pinter masak asal lo tau."
"Masa? Hemn, ntar gue cobain dulu. Kalau gue end sekarang, sampaikan ke nyokap kalau gue sayang ama dia."
Gue memutar bola mata.
"Gimana ya, lalumayan sih, kayak ada crispy-crispynya gitu, tapi" katanya sambil mengunyah pelan. Seolah kayak juri di acara memasak.
"Tapi apa?" tanya gue harap-harap cemas. Lah, napa gue ikutan gila gini.
"Enak kok," dia anguk-angguk, kemudia tergelak.
"Yeee!"
Galih mencomot sekalian dua, lalu melahapnya.
"Kalau disuguhin gini, bisa-bisa bahaya nih."
"Kok gitu?"
"Yaiya, ntar gue jadi sering mampir, gimana?"
"Boleh-boleh, mampir aja kalau mau."
Galih menunduk. "Tapi ntar cowok lo marah?"
"Yee, ngejek." Gue meninju lengannya, Galih kembali tergelak.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Gaje
Teen FictionBahasa dan cerita suka-suka ala Lita. Kalian tau apa yang paling menyakitkan dalam hidup ini, yaitu penolakan! Dan kabar buruknya, gue udah pernah ngerasain itu sebanyak tiga kali. Cewek nembak cowok duluan? Ditolak? Serius, Guys! Mungkin itu...