43. Akhir

984 102 51
                                    

Kalau dipikir-pikir lucu perjalanan cinta gue selama ini. Gue yang terlampau percaya diri hingga sembarang menyatakan rasa sama cowok yang gue suka. Walau hal tersebut sangat memalukan, tetapi menarik jika dijadikan pengalaman. Setidaknya dari situ gue paham jika rasa enggak bisa dipersepsikan segampang itu.

Hampir dua tahun berlalu sejak terakhir gue bertemu cowok itu, dan semuanya telah berubah. Kami sudah mengambil jalan masing-masing setelah lulus. Gue memutuskan untuk mengambil kuliah malam, sementara sisa harinya gue pakai buat kerja. Gue enggak bisa egois meski sangat pengen kuliah reguler di universitas negeri. Kakak mulai banyak banget pengeluaran biaya di masa-masa akhir kuliahnya. Saat ini ia hampir menyelesaikan progam PPL yang tidak ditanggung oleh beasiswa. Belum lagi jika akan memulai seminar, pasti akan membutuhkan lebih banyak biaya.

Jadi, ini jalan yang gue pilih untuk meringankan beban orangtua. Sementara, yang gue dengar Diki diterima di universitas Negeri yang terkenal di Jakarta. Dia juga sudah tidak di rumah saat dulu terakhir gue menghantarkan kue pesanan mamanya. Tante Dewi bilang Diki memilih kost yang dekat dengan tempat kuliahnya. Biar mandiri dan enggak bolak-balik katanya, maklum tempat kuliahnya itu lumayan jauh dari rumah.

Haha, kalau diingat sudah lama juga ya enggak bertemu dengan satu-satunya mantan gue itu. Sekarang pasti dia sudah beranjak semester tiga. Sama kayak gue, bedanya gue menjalani kuliah sambil kerja di kafe kekinian. Banyak menu yang hits di sana, tempatnya juga Instagrameble, hehe kok gue jadi promosi.

Walaupun kini kami udah benar-benar berpisah sejak hp gue hilang dan terpaksa ganti nomor WhatsApp, tapi kenangan tentang dia tentu masih gue ingat. Pertengkaran-pertengkaran yang biasa kami lakoni dulu. Enggak gue temui lagi di masa sekarang cowok selabil dan seegois dia. Yang enggak pernah mau ngalah sama perempuan sekalipun.

Masih ingat juga, saat akhirnya dia dan teman-temannya benar-benar tampil di acara perpisahan sekolah. D2J, ya nama grupnya masih tetap itu.

"Lagu ini gue persembahkan buat mantan gue," ucapnya kala itu saat akan menyanyikan sebuah lagu

Seketika masa yang menghadiri acara perpisahan kelas dua belas yang diadakan di gedung itu bergemuruh. Gue yakin pasti cewek-cewek yang pernah jadi mantan Diki langsung merasa, termasuk gue, haha.

"Mantan yang mana tuh, Kak?" Adek kelas cewek menyahut. Sementara, gue masih stay di bangku barisan depan hanya terdiam memfokuskan pandangan ke cowok itu. Gue yang saat itu memakai heels walau enggak terlalu tinggi, merasa kesulitan bergerak apalagi jingkrak-jingkrak, enggak kayak cewek-cewek lain yang pada maju di dekat panggung itu.

"Mantan kekasih,teman debat tersayang, orang yang sulit gue lupakan," ujarnya tersenyum begitu manis. Masih gue ingat senyumnya sampai sekarang, gue masukan memory dan mungkin enggak akan hilang. Seketika cewek-cewek itu kembali histeris. Mengelukan namanya yang memang pernah menjadi salah satu cowok populer di sekolah.

Lalu ketika petikan gitar mulai terdengar, dia pun menyanyikan lagu Mantan Kekasih dari Lyla, salah satu band Nusantara.

🎶 Aku terpaksa menangis
Aku terpaksa merintih
Cahayaku semakin redup
Memilukan

Kau masih bisa kulihat
Suaramu masih kudengar
Namun, kenyataan ini mengharukan ... 🎶

Suaranya enak didengar meski enggak bagus-bagus amat. Tapi, siapa perduli, semua tertutup sama senyum yang sesekali menghiasi wajahnya. Dan tatapan mata teduh itu.

🎶 Oh, mantan kekasihku
Jangan kau lupakan aku
Bila suatu saat nanti
Kau merindukanku
Datang datang padaku ... 🎶

Semakin banyak orang, semakin kesulitan pula mengamatinya. Akhirnya dengan sedikit perjuangan, gue tertatih maju ke depan. Gue terkesiap, membeku. Tatapan itu menodong membuat jantung seakan terdorong. Entah gede rasa atau apa, tapi matanya enggak lepas dari gue. Meski sesekali tetap menunduk, barangkali untuk mengatur napas. Tiba-tiba perut terasa menggelitik, dan mungkin karena terbawa suasana, mata terasa panas. Akhirnya gue undur diri menuju kamar mandi. Enggak mau ketahuan mellow di depannya.

"Kenapa tadi tiba-tiba pergi enggak nunggu gue selesai nyanyi?" tanyanya ketika gue kembali ke acara, ternyata dia sudah turun panggung.

"Emang kenapa?"

"Ya, setidaknya Lo kudu menghayati suara emas gue. Jarang-jarang kan Lo dengar gue nyanyi?"

Padahal dulu tiap nyetir dia sering nyanyi-nyanyi sendiri, kalau sudah enggak ada topik pembicaraan sama gue. Memang dasar kepedean.

"Lo kemana, hm?"

"Em, eh, gue ke kamar mandi, hehe." Gue sedikit gugup ditatap Diki yang tampak rapi dengan setelan jas hitam yang dipakainya. Dia yang senangnya memakai kaus dan celana jeans rada sobek hari itu terlihat casual. Kadang masih enggak percaya pernah punya mantan kayak dia.

"Ck, pantesan. Tapi enggak perlu cuci muka astaga. Make up Lo luntur lah, Dodol!"

Diki dan mulut pedasnya yang enggak pernah berubah. Gue menahan napas saat dia meminta tissue dari cewek yang lewat di sampingnya, lalu digunakan untuk mengelap make up gue yang dirasanya agak rusak.

"Kok mata Lo merah sih? Abis kelilipan nastar?"

"Ehe, anggap aja begitu."

Lalu hening. Kecanggungan menyeruak. Saling tatap, tetapi bingung mau bercakap. Hingga gue memberanikan diri untuk bertanya,

"Memang tadi lagu yang Lo nyanyiin dipersembahkan buat siapa?"

"Kepo, ya?"

"Ih, tiap jawab aja, kok."

"Buat yang merasa."

"Terus kalau yang merasa banyak?" Gue memicingkan mata.

Dia hanya tersenyum simpul, lalu mengelus samar rambut gue yang ditata dengan sanggul kecil. Sampai saat itu, dia enggak mau mengaku lagu tersebut dipersembahkan untuk siapa. Tapi, itu enggak penting. Yang terpenting moment hari perpisahan itu menjadi hal yang enggak terlupakan hingga sekarang. Setidaknya gue punya kisah masa SMA yang mungkin akan menjadi cerita yang menarik saat gue dewasa.

Meski kisah itu diperankan oleh dua remaja yang masih labil, tetapi ada pelajaran yang bisa gue ambil. Dan mungkin bisa gue terapkan di masa kini. Tentang bagaimana menjalin hubungan. Bahwa, menyatukan dua orang enggak akan lancar jika tidak mau saling mengerti dan memahami. Gengsi enggak akan membuat hubungan menjadi baik. Ada kalanya harus ada yang bersedia mengalah dan meredam amarah.

Dulu kami belum sanggup melakukan itu. Masih sama-sama labil dan egois. Hanya debat yang dihasilkan setiap hari. Mungkin jika di masa kini semesta merestui, gue dan dia bisa bertemu lagi. Entah sebagai tamu undangan atau kembali menjalin hubungan.

SEKIAN.

*******************************

Gambar by. Pinterest

Terimakasih ya yang udah baca apalagi yang menyempatkan vote dan komen, aku seneng banget.  Akhirnya cerita yang kubuat setahun lalu selesai juga.

Cerita cerita si Lita sampai sini dulu, ya. Love buat kalian.

Aku harap kalian mau komen sebelum kita berpisah di chapter ini. Karena gak ada cerita yang benar-benar menuai akhirnya. Mumuahh, byee. ☺️





Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang