36. Marahan Lagi, Marahan Teruuus!

520 70 7
                                    

"Lo yakin kan, Lit. Ini rumahmya?'

Gue mengangguk, masih ingat betul kalau di sini gue pernah jadi babu dadakan dulu. Hari ini gue ajak serta Dara buat nemenin karena kata Dino rumah dia sepi, jadi ogah banget gue cuma berduaan di rumah sama dia. Tu cowok kan kadang pikirannya agak ngeres.

Gue pencet bel, enggak berapa lama pemilik rumah membuka pintu. Dino cuma pakai kaus tanpa lengan dan celana boxer. Dasar enggak punya malu, padahal kan yang datang ke rumahnya cewek-cewek. Untung enggak ajak Vindi, yang ada tu cewek langsung ajak pulang.

Masuk rumah Dino diarahin ke ruang tv langsung membelalak ketika melihat Diki sudah duduk manis di sana. Tambah melotot lagi melihat cewek di samping Diki. Ngapain sih segala ada mereka? Dino juga enggak bilang-bilang kalau Diki dan tu cewek main ke rumahnya. Otak gue langsung enggak bisa mikir bersih.

Gue ajak Dara duduk, berusaha biasa saja seolah kehadiran Diki tidak kasat mata.

"Eh, ada Dara, ngapain ke sini," sapa cewek itu. Oh, tentu gue enggak lupa kalau mereka sekelas.

Dara senyum tipis. "Oh, ini nemenin Lita."

"Lah, ngapain ditemenin, gak berani sendiri? jawabnya sambil ngelirik gue. Apaan sih, terserah gue dong mau minta temani siapa aja. Pingin gue jawab gitu, tapi malas keributan. Alhasil gue pun cuma diam.

"Nih, air putih," ucap Dino sambil menaruh botol air bening itu di meja kecil samping lemari TV.

"Biasa bokap nyokap lagi enggak di rumah. Enggak ada makanan, atau minuman, kecuali kalau Lita mau berbaik hati." Dino menaik-naikkan alis lalu terkekeh.

Gue lirik tajam ke arahnya. "Ogah banget gue jadi babu lagi di sini, dibayar juga enggak."

"Hehe, canda, Lit. Tapi kalau Lo berbaik hati beneran ya gak masalah."

"Ogah!"

"Iya-iya, sensi amat!"

"Eh, btw, kok ada mereka sih? Gue nggak suka ya lagi latihan terus ditonton."

"Lah, siapa juga yang mau nonton elo," jawab Diki. "Gue mau latihan sendiri, ini sama Lela," lanjutnya sambil merangkul tu cewek.

"Eh, bukannya elo duduknya sama Jalu, kenapa pasangannya jadi sama dia?" tanya gue lirik tu cewek.

"Iya memang, tapi ogah banget gue berpasangan sama Jalu, ntar dikira kita cowok apaan!"

"Apa salahnya? Buktinya Dara sama Vindi sesama cewek nggak masalah. Kan cuma tari, ya gak, Ra?"

Dara mengangguk.

"Ya, itu kan cewek, beda kelas sama cowok."

"Memang kenapa sih kalau cowok sana cowok? Buktinya teman sekelas gue Amir sama Dendi juga berpasangan narinya." Gue masih saja keukeuh.

"Terus kalau gue sama Diki apa salahnya? Kok Lo yang gak terima?" sahut Lela seraya natap gue. Gue enggak suka ya caranya natap, kayak mau ngajak gelut.

"Apa sih, gue kan cuma nanya, salah?" Gue balas menatapnya enggak mau kalah. Dara nyentuh punggung gue sambil menggeleng.

Dino beranjak, merentangkan diri di antara gue dan Lela. "Eh, ini kenapa sih, kok kek mau duel?" tanyanya lalu menoleh ke gue,

"Kami memang udah janjian, Lit. Sebelumnya Diki udah pesan, kalau latihan suruh bareng."

Gue berdecak. "Kenapa musti bareng sih, kek gini kan jadi enggak fokus. Kelas beda, jam pelajaran juga beda, kenapa latihannya enggak beda-beda juga?"

"Udah, yang penting kan latihan. Gue juga udah beli kaset kek yang Lo pesen kemarin," ujar Dino menarik tangan gue.

****

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang