31. Block Mantan

585 79 13
                                    

Sepanjang jalan dianterin Galih pulang gue cuma diam. Dalam hati masih gak habis pikir sama kejadian di rumah tante Dewi tadi. Rasanya malu campur nggak enak hati. Gue tahu tante Dewi jujur kalau dia gak nggak pesen kue itu. Tapi, kenapa Diki mesti bohong. Bukankah setelah putus gue juga udah nggak pernah ganggu dia lagi.

Dan bukankah dulu kami putus secara damai, maksudnya gak ada gangguan orang ketiga, selain Diki yang pengen melanjutkan kebebasan hidupnya.

Namun, kenapa sekarang dia jahat banget? Ngerjain gue sampai segitunya. Untung mamanya baik, jadi ibu gak perlu rugi. Tapi, Kenapa Diki ngelakuin itu? Kenapa? Pertanyaan itu terus berputar di otak, bikin kepala gue rasanya pusing.

Gue pegangi kepala seraya turun dari motor Galih. Iseng-iseng gue tawari dia masuk. Tu cowok malah natap gue dengan alis terangkat.

"Lit, lo nangis?"

Galih mematikan mesin motornya. Gue memalingkan muka ketika Galih hendak menyentuh pipi gue. Aduh, kenapa mesti keluar air mata sih? Nggak mungkin kan gue alasan kecolok atau kena debu. Klise banget.

"Gara-gara masalah tadi, ya?"

Gue nunduk sambil mainin ujung baju. Ayo dong air mata jangan turun lagi, malu nih gue dilihatin Galih. Luntur dong image gue sebagai Lita yang selalu ceria.

Lama kami terdiam, terdengar helaan napas. Galih kembali menyalakan motornya. "Yaudah gue nggak tanya lagi. Kayaknya lo lagi perlu sendiri. Tapi nanti kalo butuh cerita lo tau kan harus ke mana?"

Mendongak, gue mengangguk. Bodo amat lah, muka gue basah. Dasar ya air mata susah diatur. Galih mengusap rambut gue lalu melajukan motornya pergi. Untung dia pengertian.

**

Gue menatap lama room chat antara gue dan cowok tengil itu. Rasanya pengen meluapkan emosi, tapi bingung harus gimana.

Tulis.

Hapus.

Tulis.

Hapus.

Hm

Argghhh, kenapa sih susah banget cari kosakata. Pengen banget ngeluarin uneg-uneg, maki-maki dia, tapi kenapa nggak bisa.

Apa lebih baik gue cuekin aja, biar dia tau kalau yang dilakuin itu nggak berpengaruh di hidup gue? Yah, kayaknya cara itu lebih bijak dan elegant. Gue pun menaruh kembali hp. Berbaring sambil menarik selimut. Namun, sepuluh menit kemudian saat gue cek hp, satu whatsapp masuk.

'Kenapa nggak jadi?'

Aih, ternyata dia nunggu gue ngetik. Iya sih waktu gue ngetik tadi dia masih online. Tapi, gue kira dia nggak bakal tau. Bisa aja kan chat gue yang dulu, ketimbun sama chat cewek-cewek gebetan atau bahkan pacar barunya.

Bales nggak, ya? Tapi, udah terlanjur ke-read. Ah, bodo amat, gue letakin hp, mulai memejamkan mata.

Namun, nggak berapa lama hp di samping bantal berdering. Nama Diki tertera. Mau ngapain sih bocah itu? Ah, nggak tau apa gue pengen tidur, udah hampir jam sepuluh malem nih.

Dengan cepat gue ambil, lalu matiin panggilan. Lagi-lagi hp bunyi. Begitupun detik selanjutnya dan selanjutnya. Kenapa sih dia nggak habis-habisnya ganggu gue. Kesel, gue pun block nomor dia. Beres.

Hening, gue pun kembali memejamkan mata. Moga dia nggak dateng dalam mimpi. Males banget.

****

Libur sekolah tinggal dua hari lagi. Tapi, selama liburan gue nggak ke mana-mana. Palingan cuma bantu ibu masak, bikin kue, abis itu rebahan sambil main hp. Cuma gitu doang kegiatan sehari-hari. Bosen sih, tapi setidaknya gue masih bermanfaat dikit.

Gue buka aplikasi biru buatan Mark, mulai scroll beranda. Naik turun kek mood. Ah, gini doang kegiatan jomblo. Nemu status bagus dibagiin. Duh sepi banget yak kayak hati. Mana hp juga sepi, tumben banget nggak ada yang chat.

Nggak ada yang mau ngajak ke mana gitu di hari-hari terakhir libur. Ngayal banget sih. Menurut temen gue si Dara, kalau ngayal jangan lupa pakai helm, biar kalau jatuh nggak terlalu sakit. Kenal akrab sama tu bocah bikin kekoplakan gue bertambah.

Gue merubah posisi jadi terlentang. Enggak lama berguling lagi. Udah kek dadar gulung aja. Seharian mood turun drastis bawaanya pengen marah, tapi nggak tau karena apa. Jangan-jangan mau mens. Tapi, mens gue kan baru selesai sepuluh hari yang lalu. Ah, bodo amat lah.

Kembali gue cek hp. Masih sepi. Oh iya ngomong-ngomong udah tiga hari ini si tengil itu gue block. Sebenernya gue males banget pakai cara pengecut kek gitu. Bukan gaya seorang Lita. Tapi, gimana lagi malam itu dia ganggu banget. Dan hari selanjutnya, gue jadi males mau buka block-nya. Ah, biarin dah.

"Lita!"

"Iya, Bu?" jawab gue tanpa beranjak. Mager mau ke mana-mana.

"Ade temen kamu tuh!" Ibu berlalu dari puntu.

Temen? siapa?

Jangan-jangan Vindi sama Dara. Tumben banget mereka dateng tanpa ngabarin dulu. Siapa tau mau ngajakin jalan-jalan. Ah, kebetulan banget.

"Elo!" Gue berdiri di ambang pintu ruang tamu, menunjuk si tengil yang lagi duduk di kursi.

Ngapain lagi sih dia? Nggak habis-habisnya ya buat masalah. Jangan-jangan punya rencana busuk lain.

Gue menggedikkan dagu sambil bersidekap. Masih di posisi yang sama. Diki menatap gue, sudut bibirnya terangkat.

"Sini dong duduk, deketan. Nggak ada sopan-soapannya lo jadi tuan rumah."

Gue senyum sinis. "Nggak ada yang mengharuskan gue sopan sama tamu kek lo."

"Mau apa?" lanjut gue.

"Jutek amat!"

Heran gue sama dia. Nggak ada rasa bersalahnya sama sekali gitu. Udah bikin orderan fiktif, sekarang muncul kek orang tanpa dosa.

Diki menepuk kursi di sebelahnya. Gue masih mempertahankan posisi. Ibu muncul dari dalam sambil membawa teh untuk Diki. Pengin banget gue larang. Ibu memang gak tau soal orderan palsu itu. Biar gue simpen aja. Lagipula tante Dewi mau bertanggujawab. Dan untung aja mamanya Diki itu gak cerita apa-apa sama ibu.

"Makasih," Diki tersenyum. Dih, sok manis. Pengen gue garuk mukannya.

Ibu berlalu, tetapi sebelum itu ibu memperingatkan untuk sopan sama tamu. Gue pun duduk dengan perasaan dongkol.

"Ngapain ke sini?" tanya gue jutek.

Dia nggak langsung jawab. Ada jeda cukup lama.

"Kenapa lo block nomor gue?"

"Karena lo berisik!"

"Oh, nggak berisik itu kalo ditelfon Galih?"

Gue memandangnya heran. "Apa hubungannya sama Galih?"

"Ya jelas ada lah. Waktu itu lo dateng ke rumah gue sama cowok itu."

"SSK, suka-suka gue dong. JOMBLO, mah bebas."

"Terus mentang-mentang jomblo lo auto PDKT sama dia, gitu?"

Gue melipat tangan. "Kepo banget sih. Terserah gue dong."

Jeda kembali datang. Dia mandang gue dengan tatapan yang sulit diartikan. Apa-apaan sih dia tu? Gue nggak suka ya dipandang lama kek gitu. Bikin melting eh salting maksud gue.

"Jadi lo ke sini cuma mau ngimongin itu?" tanya gue, berusaha memecah keheningan.

Dia menggeleng, masih nggak ngelepasin pandangan bikin gue sebentar-sebentar nunduk. Nggak mau kalah, gue pun balik tatap dia. Kami malah kek lagi mengikuti kontes tatap. Untung ada kursi, jadi jarak gue dan Diki nggak terlampau dekat. Jangan sampai terjadi anu kek di film-film itu. Lah, gue tuh mikir apa.

Diki terkekeh sambil ngusap matanya yang berair. Dia nggak nangis, kok. Nggak se-mellow itu. Tapi, mungkin gara-gara acara tatap tanpa kedip tadi bikin matanya perih.

"Yes gue menang. Hadiahnya paan?"

"Bentar lagi dateng!"

Diki beranjak, menarik tangan gue, mengajak ke luar. Lah, maksud dia apaan sih?

****

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang