9. Gara-Gara Remidi

751 94 3
                                    

"Cie yang remidi cie,"

"Cie,"

"Cie, haha ...!"

"Ishh, lo bisa diem nggak sih?!"

Tarik napas, Lita, tenang. Kalau aja gue punya kekuatan teleportasi, rasanya gue pengen menghilang cari tempat yang tenang. Konsentrasi gue buyar, tu cowok berisik banget daritadi, nggak membiarkan gue konsen belajar, padahal ini terjadi gara-gara dia. Uhh, menyebalkan.

Masih ingat kan waktu ulangan biologi, si Diki ngelempar kertas contekan, dan gue berakhir remidi. Huh!

Sebenernya remidinya udah minggu lalu, tapi karena Pak Bambang gak masuk, akhirnya remidinya dilakukan hari ini. Mana Pak Bambang ngumuminnya di akhir pelajaran lagi, alhasil satu kelas pun tau termasuk Diki. Tu anak tentu aja gak menyia-nyiakan kesempatan buat ngolok gue.

"Arghhh ...! Dik, gue mohon buat kali ini aja lo jangan ganggu gue. Masalahnya
semalem gue belum baca-baca, mana nanti ngerjainnya langsung di depan bapaknya."

"Terus lo pikir gue peduli?"

"Ihhh" Gue beranjak dari bangku, dorong tubuh dia menjauh. "Dik, lo mending pergi deh. Ini kan jam istirahat, ngapain lo masih di kelas? Sana beli jajan sambil tebar pesona sana dedek-dedek gemay penggemar lo itu."

"Males."

"Lagian lo tumben banget sih betah di kelas?"

"Iyalah, kan gue mau ngerecokin elo."

"Ya Allah," gue pegang kepala, lalu duduk kembali sambil menenggelamkan wajah di meja. Apalan yang tersusun di kepala gue bubar ntah ke mana. Ibarat bangunan, Diki tu angin puting beliungnya. Dateng-dateng ngerobohin dan bikin rusuh.

Begitu ngangkat wajah, mata gue berbinar. Dari arah pintu masuk, Karin dateng sambil bawa beberapa jajan yang dia beli dari kantin. Fiuh, tu cewek berasa malaikat penolong buat gue. Nggak pernah gue sesenang ini liat Karin.

Gue pun berdiri cepat menghampirinya. Bisa dipastikan Diki gak bakal gangguin gue kalau ada Karin. Cowok itu bakal jaga image di depan gebetannya.

"Eh, Rin, bantuin gue dong. Gue agak kesulitan sama materi bagian ini."
Gue membuka halaman buku paket, menunjukkanya ke Karin.

"Boleh," Karin yang emang dasarnya pinter dan gak pelit ilmu pun mulai menjelaskan materi itu. Dengan seksama gue pun mendengarkannya. Tetapi, konsebtarasi gue buyar lagi pas Diki duduk di bangku depan gue.

"Dik, ngapain sih lo ngeliatin kayak gitu? Sana pergi, ini area perempuan."

"Yee, geer! Gue tuh ngempirin Karin kali buka lo. Lagipula, boleh kan, Rin. Gue ikut belajar bareng kalian?"

"Boleh."

"Ih, apaan sih, emang lo mau remidi juga?"

"Ya enggak lah, gue kan gak ketahuan nyontek." Diki tersenyum ke gue.

"Heh, sadar diri ya, kalo bukan gara-gara lo nge--

"Ih, kalian tuh mau belajar apa ribut sih. Kalo cuma mau berantem, mending gue pergi aja," sela Karin.

"Eh, jangan dong, Rin. Mending cowok itu tuh yang suruh pergi, nyepet-nyepetin hidup orang aja," kata gue sengit, melirik ke arahnya.

Diki menatap gak terima ke gue. "Apa?" tanyanya nyolot.

"Ya Apa?"

"Kenapa?!"

"Ya kenapa?!"

"Lit, Dik!"

"Iya-iya, Rin, maap," seru gue dan Diki bersamaan. Kami saling tatap sebentar, sebelum sama-sama membuang muka.

*

Fiuh, akhirnya remidi gue kelar juga. Meski gue gak yakin sama hasilnya, tapi setidaknya gue udah berusaha ngerahin kemampuan semaksimal mungkin.

Masalahnya satu, bus yang biasa gue tumpangi udah gak ada di halte. Tadi gue emang remidi sepulang sekolah, karena pelajaran abis istirahat gak bisa ditinggal. Akhirnya sekarang gue yang ditinggal bus.

Nasib jomblo gini banget yak, ditinggal mulu perasaan. Tegakkan kepala Lita, nanti mahkotamu jatuh. Mungkin kalimat itu terlalu dramatis, gue negakin kepala karena suara motor berhenti di depan gue.

"Eh, Lita, ketemu lagi. Ngapain lo termenung sendiri di halte? Nunggu siapa?"

Galih!

Ini pertemuan ketiga kami. Kali ini cowok itu naik motor metic warna putih.
Tetapi, gak kayak motor metic pada umumnya, karena motor Galih dimodifikasi, atau istilahnya modentic.

"Hoe, ngapa lo bengong doang?"

"Ehehe, nggak kok. Lo tadi ngomong apa?"

Galih terlihat memutar bola mata. "Lo nunggu apaan di sini, kok belum pulang?"

"Ya ini mau pulang. Gue lagi nunggu bus, nggak tau tuh busnya kesasar ke mana."

"Yaelah, gue anterin balik, yok."

"Apa?"

"Ayok, gue anterin pulang, Lita. Lah, kok lo jadi budeg sih, heran gue."

Gue terkekeh.

"Mau nggak?" tanyanya.

"Ya mau lah. Ya kali gue nolak. Nunggu bus aja gak pasti. Lo tau sendiri kan nunggu yang gak pasti itu menyakitkan."

"Haha, gaje lo, dasar."

"Biarin," ucap gue sambil naik, dan motor Galih pun melaju.

Selama perjalanan gue rasanya seneng. Baru kali ini gue pulang dianterin cowok. Tapi, gue gak mau baver secepet itu. Karena eh karena baver itu berat, Cuy.

Merusak pikiran.

Setelah sampai di depan rumah gue, dia bilang, "Kapan-kapan kalo gue main ke sini, boleh?"

Tentu aja gue jawab, "Boleh."

*
*

Kalo tertarik, dan pen cerita ini cepat up, silakan vote dan komentar (:


























Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang