12. Bantuan

750 90 3
                                    

Ampun deh, gue keluar dari mobil Diki dalam keadaan kliyengan. Kepala muter-muter, perut mual, badan rasanya mau ambruk kalau aja gak pegangan bodi mobil.

Gila kali tu cowok bawa mobilnya. Udah kaya Rosi yang lagi tarung di sirkuit balap. Kenceng banget. Gue aja sampai gak berani buka mata selama perjalanan. Hah, kayaknya dia emang sengaja mau ngerjain gue.

Bukannya prihatin atau sekedar ngerasa bersalah udah bikin gue hampir masuk angin, cowok gak jelas itu malah ketawa-ketiwi kek berasa lagi nonton acara komedi. Ihh, orang dengan selera humor rendah kayak dia emang cocoknya jadi penonton bayaran,

Huh, kesel parah gue.

"Hoekk," gue membungkuk, ngeluarin cairan yang cuma berupa air liur. Ish, kayaknya gue mabok perjalanan gegara dibawa ugal-ugalan.

"Baru digas gitu aja udah ngidam lo."

Gue mengangkat kepala dengan kilatan mata. "Ngidam palalo peyang!"

"Apa ...? Sayang? Astaga, Lit, baru sekali diajak naik mobil gue aja lo udah berani manggil sayang. Gimana dua kali, bisa-bisa gue langsung lo lamar," dia senyum miring.

"Oyy, kapan sih lo terakhir korokin kuping? Kalau sebulan yang lalu, mending sekarang lo masuk terus ambil catembat, korokin deh sampe akar-akar,"

"Atau kalau perlu langsung periksa ke THT, eh maap maksud gue RSJ," lanjut gue.

"Ah, kebanyakan omong lo. Mending sekarang lo bantuin gue bawa kue ke rumah."

"Eh, Dik. Gue udah kayak gini masih aja lo suruh-suruh. Gak punya hati banget sih."

"Punya kok, nih di dalem. Tapi gak rela bagi-bagi."

"Ishh, siapa juga yang minta dibagi?"

"Yakin gak mau dibagi?"

"Ogah," seru gue sambil duduk di undakan rumahnya. Kepala gue masih pening, Gaes. Rasanya udah gak peduli sama perintah Diki tadi.

Diki menatap gue yang lagi memegangi kepala, kemudian menuju mobil mengambil dua plastik besar kue kering itu, lalu membawanya ke dalam rumah.

Gitu kuat loh! heran gue sama cowok itu. Udah jelas banget, dia nyuruh gue ikut cuma mau niat jahilin. Lahh, gue mengentakkan sandal ngerasa jengkel banget. Padahal tadi kan niatnya gue mau tidur. Mana belum istirahat sama sekali. Rasanya pengen nangis. Nanti kalau disuruh pulang jalan kaki gimana? Bisa-bisa gue pingsan di tengah jalan.

"Hoyy, jangan kayak gembel ngapa? Sini masuk, lo dipanggil nyokap gue."

Gue menoleh. "Buat apa?"

"Mana gue tau. Emangnya gue cenayang bisa baca pikiran orang."

Gue bangkit sambil menahan isakan.

"Eh, Lit. Ngomong-ngomong kok mata lo kayak merah gitu?"

"Gapapa," jawab gue ketika melewati pintu rumahnya. Gue pun menghela napas, lalu mengusap mata yang basah. Jangan sampai Diki lihat gue hampir nangis, bisa-bisa gue dikatain. Gue gak pernah mau terlihat lemah dihadapan orang lain, apalagi orang itu Diki. Dih.

"Ada yang bisa Lita bantu Tante?" tanya gue menghampiri tante Dewi yang lagi sibuk di dapur.

"Gini, Lit. Tante kan masih belum kelar masak nih, bisa gak Tante minta tolong kamu bantu pindahin kue ini ke toples? Kebetulan nanti malem ada acara keluarga, terus Bibik lagi sibuk bersihin rumah."

"Oh, iya Tante, boleh kok," jawab gue sambil senyum. Secapek apapun, gue gak mungkin tolak permintaan tolong wanita baik hati ini.

Sejurus kemudian, gue pun mulai memindahkan kue ke toples cantik yang disiapkan tante Dewi. Diki menguap berniat pergi, tapi mamanya mencegah.
Dia protes tapi tante Dewi tetap tidak memperbolekannya pergi. Pada akhirnya dia membantu, meski sambil menggerutu. Dasar ...!

"Enak ya kalau misalnya punya anak perempuan, bisa diajak masak bareng, bantuin mamanya di dapur," ucap tante Dewi sambil mengaduk masakannya. Aroma menguar, aduh lapar. Sedari tadi gue belum makan. Moga aja nih perut gak demo sambil koar-koar sekarang, bisa malu gue.

"Emang punya anak laki gak enak, Ma?" protes Diki.

"Enak sih, cuma gak bisa diandelin. Jangan bantuin, baru disuruh kayak gini aja kelihatannya nggak ikhlas banget."

"Ikhlas kok, Ma, ikhlas," jawab Diki sambil mempercepat gerakannya. Gue cuma bisa geleng kepala.

Kruyukk-Kruk.

Gue meringis. Ck, cacing-cacing perut. Lo pada gak sabaran banget sih! Malu gue, Govlog.

Gue pun cuma bisa nyengir kuda.

*

Hari hampir petang ketika Diki nganter gue kembali ke rumah. Tadi sebelum pulang gue dipaksa tante Dewi makan dulu di sana. Awalnya gue nolak, karena ngerasa nggak enak, tapi karena tante Dewi bilang kalau gak makan dulu gak boleh pulang, akhirnya gue pun nurut.

Sebenernya gak terpaksa sih, hihi. Karena gue emang dasarnya laper dan masakan tante Dewi enak banget, jadi bisa dibilang cukup beruntung gue bisa ikut nyicipin.

Walau begitu, tetep aja gue ngerasa gak nyaman makan semeja di rumah Diki.  Sama kedua orantuanya pula. Udah berasa kayak mantu gue di sana.

Eh, enggak! Jangan salah paham, ya. Itu cuma pemisalan. Okey!

Gue hendak masuk rumah ketika mendengar suara gemrusuk dari dalam. Gue pandang arah pintu, bapak tergesa keluar sambil gendong ibu. Gue nembelalakan mata. Ya Allah, ada apa?

"Pak, Ibuk kenapa?"

"Tadi pingsan, Lit. Pas mau ke kamar mandi. Untung Bapak udah pulang," terang Bapak.

Duh, ini pasti gara-gara ibu kecapekan. Makannya badannya yang emang udah dasarnya udah sakit, jadi bertambah drop.

Gue panik, hampir nangis, lihat ibu gak sadarkan diri. Menoleh ke arah mobil, Diki udah keluar dari sana, dan berjalan menghampiri.

"Dik, tolong bantu ibu gue bawa ke klinik ya," pinta gue, memelas. Nggak terasa air mata gue udah jatuh.

"Eh, iya-iya. Ayok, Pak, biar saya antar."

Bapak memasukkan ibu hati-hati ke dalam mobil. Gue membantu dari dalam. Diki segera duduk di balik kemudi, kemudian segera melajukan mobilnya ke klinik terdekat.

****

.
.

A.N: Kalau menurut kalian story ini menarik, dan pengen cepet update jangan sungkan buat klik bintang dan komentar ya, terimakasih.








Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang