39. Minggir

525 68 13
                                    

Pagi ini gue sampai sekolah dengan enggak bersemangat. Bayangkan saja, hari ini bapak bakal datang ke sekolah, memenuhi panggilan guru BK, terkait anak gadisnya yang melakukan pelanggaran di sekolah. Benar-benar memalukan.

"Ibuk enggak pernah maksa kamu jadi anak yang pinter kayak kakak kamu. Enggak masalah walau kamu bahkan enggak masuk sepuluh besar sekalipun, dan ibuk pun enggak pernah ngelarang kamu buat pacaran.  Ibuk ngerti kamu sedang dalam masa peralihan, tapi enggak kayak gini ceritanya, Lita. Kamu bikin malu!"

"Nyatanya kebebasan yang ibuk berikan, enggak kamu pergunakan dengan baik!"

Ibu benar, gue cuma bisa bikin malu. Pinter enggak, tukang bikin masalah iya. Setelah gue pikir-pikir apa yang dibilang Vindi ada benarnya, gue terlalu kalah sama emosi. Keberanian gue enggak bikin hidup gue lebih baik.

Rasanya gue pengen nangis. Kemarin dan pagi ini, ibu masih saja mendiamkan gue. Bapak juga kecewa, tapi sepertinya enggak separah ibu. Bapak cuma berpesan supaya jangan melakukan kesalahan yang sama. Dan sekuat mungkin gue akan berusaha menurutinya.

Gue menghela napas. Muka gue pasti kusut banget. Malas rasanya ngomong sama siapa saja. Dan semoga enggak ada yang menyulut emosi.

Namun, seketika mendengkus ketika melirik Diki yang bersandar di tembok. Cowok itu cegat gue yang mau masuk kelas.

"Minggir, gue lagi enggak mood," ujar gue ketus.

Bukannya minggir, dia malah semakin menghalangi langkah, bikin gue benar-benar kesal. Memang sih hampir setiap hari gue jengkel sama dia. Tapi, kali ini gue benar-benar enggak mood, untuk sekadar adu mulut.

"Ish, udah dibilang minggir, kok!"

Gue dorong bahunya, tapi dia malah pegang tangan erat banget. Tatapannya menajam.

"Kenapa Lo blok gue? Lo kebiasaan ya main blok-blok orang sembarangan!"

Semalam gue memang blok dia, karena berisik banget, menelpon berulang-ulang. Pesannya yang sempat terkirim pun cuma gue read doang. Rasanya masih malas berurusan sama dia, untung enggak bikin tambah masalah iya.

"Terserah gue!"

"Iya, terserah elo. Tapi setidaknya jawab dulu dong, kenapa kemarin di ruang BK. Kata Lela kalian dapat surat panggilan orang tua?"

"Udah tahu pake nanya. Lepasin!"

"Jangan marah-marah terus dong. Jelasin baik-baik. Gue kan juga enggak tahu masalahnya gimana, sampai tiba-tiba kalian gelut kemarin."

Masalahnya gimana? Masalahnya ada di dia, tapi enggak nyadar juga. Coba kalau dia enggak banyak tebar pesona, tapi cewek sejenis lele eh Lela maksud gue, enggak akan merasa punya harapan amat tinggi.

"Udah dibilang males!" Gue hempasan sekuat tenaga tangan dia, lalu masuk ke kelas. Diki mengekor, sampai gue duduk di bangku.

"No, itu temen Lo suruh pergi gih! Ganggu aja pagi-pagi," ucap gue ke Dino yang sudah terlebih dulu berangkat. Cowok itu berhetiin game yang lagi dimainin, lalu terkekeh mendongak ke Diki.

"Bro, Lo mending ke sini lagi nanti," Dino melirik gue yang pasang tampang masam. "Lo enggak lihat tuh mukanya, kayaknya lagi mode senggol bacok," bisiknya tapi keras. Gue meliriknya tajam.

"Tuh kan tuh kan, lirikannya aja kayak udah mau makan orang. Gue pernah baca di artikel, cewek kalau ngambek, mending enggak usah diganggu dulu. Bujuknya nanti aja, bawa jajan yang banyak."

"Gue enggak semudah itu ya," sahut gue sewot.

"Udah enggak usah didengerin, nanti yang penting istirahat bawa jajan yang banyak, jangan lupa buat gue juga." Dino meringis, Diki berdecak, menatap gue sekali lagi, lalu keluar dari kelas.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang