29. Retak

576 93 13
                                    

Iya, sepenuhnya gue sadar, gue kalah.

****

Setelah pembagian raport kemarin hari sabtu, minggunya Diki datang ke rumah, buat ngajak gue jalan.

Masih inget kan, minggu waktu Diki ngajak gue keluar, taunya gue dijadiin babu di rumah Dino. Kalau inget itu rasanya masih sangat menyebalkan. Namun, kali ini bener-bener beda dua ratus derajat.

Entah ada angin puting beliung campur tornado dari mana, tapi tu bocah bertranformasi jadi cowok yang baik banget sama ceweknya. Tadi dia ngajak gue makan di McDonald's, pulangnya masih dibeliin es krim. Sebenernya kita mau mampir ke bioskop, tapi karena nggak nemu film yang pas akhirnya cuma muter-muter di mall. Sempet dia nawarin beli baju atau apa yang gue mau, tapi gue nolak.

Pulangnya gue diajak muter-muter pake motornya. Meski gue agak nggak nyaman sama motor besar yang bikin badan jadi tersorong ke depan, tapi hari ini gue tetep ngerasa happy banget, mungkin karena perginya sama Diki. Eh. Ada apa dengan gue?

Dan sekarang di sinilah kami, duduk di bangku bawah pohon gede taman kota. Gue nggak ngerti apa maksud Diki bawa gue ke sini, tapi dia cuma bilang mau cari tempat yang nyaman buat ngomong sesuatu. Aduh apa ya? Jadi berdetak tak karuan, kan! Wkwkwk, lebay.

Ini udah menit ke sepuluh, Diki belum juga ngomong apa-apa. Ni cowok kenapa sih, gue tatap wajahnya dia melengos.

Gue berdehem.

Diki kembali menatap gue. "Lit!"

"Hm?"

"Lo nggak lupa, kan, kalo kemarin ... "

"Lo menang?"

Tu cowok menggangguk kecil.

Meski bukan kompetisi pertama, siapa yang lebih dulu ngaku jatuh cinta, tapi di kompetisi kedua ini, Diki lah pemenangnya. Skor 1-0. Dan dia berhak menentukan gimana hubungan kami selanjutnya, seperti perjanjian waktu itu. Aduh, kali ini bukan lebay, Gengs. Tapi gue bener-bener deg-degan. Gue nggak ngerti apa yang gue harapkan dari keputusan Diki, tapi...

"Berarti gue berhak ... "

Gue mengangguk.

"Gue masih belum paham, apa yang gue rasain, tapi ... " tangan Diki bergerak menggenggam kedua tangan gue. Sorot matanya lurus, bikin gue seolah terhipnotis. Dari deket gini gue akui kalo cowok gue itu emang ganteng. Apalagi ditambah tatapan yang redup seperti ini. Oh, berlebihan nggak sih kalo gue mau waktu berhenti sejenak. Ini indah, sungguh.

"Lit!"

"Ya?"

"Gue,"

"Ya?"

"Gue ... gue ... "

"Gue nggak tau apa ini keputusan terbaik tapi, gue ngerasa,"

Diki menarik napas, tatapannya gak lepas dari gue.

"Gue mau kita

... putus!"

What the ...!

Demi apapun kuping gue masih normal, kan. Iya, kan?!

Setelah dibuat melayang setinggi angan, lalu dijatuhkan. Gak tanggung-tanggung, langsung dasar jurang. Ini ... ini ...

BERCANDA, KAN?!

Badan gue melemas, gue belum memberi reaksi masih dengan dua bola mata lebar menatapnya. Diki pun diam, seolah nggak percaya apa yang baru dikatakan.

"Lo mau kita putus?" tanya gue cengo.

"He'em."

"Lo nggak bercanda, kan?"

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang