20. Dasar Kepo

632 85 3
                                    

"Lo tu jadi cowok kepo banget sih!" ujar gue kesal sambil melipat tangan. Diki yang lagi nyetir cuma ngelirik dikit, lalu mendengkus.

"Suka-suka gue dong!"

"Kalau suka-suka lo kenapa harus ngelibatin gue juga?"

"Karena lo ikut bertanggungjawab !"

"Bertanggungjawab paan?" tanya gue aneh. "Lo pikir gue ngehamilin elo?"

Diki berdecak, lalu menoleh dengan tatapan tajam. "Kalau bukan karena lo yang ngenalin Galih sama Karin, semua nggak bakal berakhir kayak gini. Dan gue pun nggak mungkin ditolak di depan banyak orang."

"Terus menurut lo kalau Karin gak kenal Galih, dia bakal nerima lo? Nggak usah kepedean ngapa?"

"Heh, mana pernah selama ini gue ditolak cewek? Mikir! Mau ditaruh di mana muka ganteng gue?"

"Ditaruh di mana aja basing, tapi sekarang lo perhatiin jalan!" jerit gue.

Huft, gue menghela napas lega, untung Diki bisa belokin mobilnya tepat waktu, kalau enggak bisa-bisa kami berakhir nabrak trotoar jalan. Enak aja, gue nggak mau lah mati muda. Apalagi matinya bareng Diki. Ogah banget. Lemes gue mikirinnya.

"Kalau mau mati, mati sendiri aja. Nggak usah ngajak-ngajak!"

Diki nggak jawab, dia cuma ngomel sambil berhentiin mobil, karena lampu merah dan ketinggalan jejaknya Karin. Sedangkan, gue cuma melengos.

"Lo telfon Galih gih, terus tanya dia di mana?" suruh Diki.

Gue menatap tak minat. "Males banget. Emangnya gue elo, kepo sama kehidupan orang."

"Kalau lo nggak mau telfon, gue nggak mau nganterin lo pulang!"

Gue melirik sinis. "Dih, kok lo ngancem sih?!"

"Cepet! Gue kalau ngomong gak main-main loh!"

Akhirnya karena gak tahan lama-lama sama cowok nyebelin itu, gue telfon si Galih. Sambungan pertama gak diangkat, sambungan kedua sama, pada sambungan ketiga panggilan itu baru diangkat. "Halo,Gal--"

"Hay Lit, gimana?"

Suara Karin.

"Kebetulan Galih masih nyetir, jadi gue yang angkat. Lo ada keperluan apa biar gue sampaikan?"

Gue tetawa sumbang. "Hehe, engga kok. Betewe, kalian mau ke mana kalau boleh tau?"

"Rencanannya sih Galih mau ngaterin gue pulang, tapi karena laper, jadi kita mau mampir ke warung bakso dulu," jawabnya sambil menyebutkan alamat warung bakso yang akan mereka datangi.

"Oh, okey. Selamat makan, bye." Klik, sambungan gue putus.

"Puas? Sekarang anter gue pulang!"

Diki malah belagak cuek, dia melajukan mobilnya, tapi bukan ke arah rumah gue.

"Dan sekarang mau ke mana lagi?"

"Di mana alamatnya? Gue mau ganggu kencan mereka!"

Gue mengelus wajah. "Astagfirullah! Kuatkan hamba Ya Allah."

*****

Ntah, kegilaan macam apa ketika gue manut aja diajak Diki nguntit Karin sama Galih sampai sini. Dan sekarang kami udah duduk berempat di warung bakso.

Niat awalnya cuma mau ngintip, tapi karena ketahuan, Diki belagak cuek masuk ke dalam. Dan gue terjebak dalam situasi kurang mengenakkan berikut ini,

"Wah, jadi ingat waktu kita makan bertempat abis nonton bioskop. Dan sekarang kita duduk berempat lagi, tapi bertukar pasangan. Lucu ya!"

Mendengar Galih berujar seperti itu, Diki menatapnya tajam. Tatapannya itu seolah menggambarkan kalau dia amat nggak suka sama Galih. Mungkin merasa tersinggung, karena meski wajahnya lebih ganteng dari Galih, tapi Diki nggak berhasil naklukin cewek yang disuka. Bahkan dua cewek--gue dan Karin--lebih terlihat tertarik sama Galih dibanding dia.

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang