"Cie ... serius amat, Bu, kayaknya main hapenya. Sampai lupa waktu."
Gue menoleh ke belakang, langsung menyembunyikan hape gegara Diki yang ngintip gue lagi chatting sama Galih.
Diki senyum-senyum sambil sambil ngeledek, "Lagi ngapain? Udah makan belum?"
"Elah, Lit, hal kayak gitu aja lo tanyain. Nggak penting banget sih," lanjutnya sambil colek-colek gue. Ish, emang gue sabun colek apa?
"Ihh, terserah gue dong. Hepe-hape gue. Urusannya apa sama lo?"
Diki mengangkat bahu. "Nggak ada sih."
"Yaudah nggak usah ganggu. Urus urusan masing-masing!" Gue menatapnya jutek.
Kembali, dia mengangkat bahu. "Nggak mau."
"Oh, gue tau. Jangan-jangan lo cemburu ya?" Gue memasang tampang sok kaget.
"Gue cemburu? Kalau gak tidur jangan ngimpi, Lit. Malu noh sama bangku sebagai saksi bisu."
"Apaan, sih. Gaje!" Gue mengangkat hape, kembali mengotak atiknya. Dua pesan baru dari Galih belum gue baca. Gara-gara makhluk penganggu kesenangan orang itu.
Tiba-tiba gue jerit pas Diki ngerampas hape di tangan gue. Tu cowok lari sambil ketawa-ketawa, bawa kabur hape gue.
"Diki ...!" jerit gue menggelegar.
"Bentar, Lit. Gue kangen gangguin lo."
Memang, sejak memutuskan buat berdamai, gue jadi jarang banget bertengkar sama cowok itu. Padahal sebelumnya masalah sepele aja udah jadi bahan adu mulut.
Sebenarnya gak bener-bener berdamai sih. Diki masih sering jahil, kayak nakut-nakutin saat mau ke toilet, soalnya dia paham banget kalau gue penakut, dan ke toilet harus ada yang nemenin. Cuma, gue ngerem aja supaya gak emosi dan berbuntut panjang. Niatnya emang mau akur, tapi dia malah kayak gini. Ngeselin banget kan!
Untung kelas nggak terlalu rame, jadi cuma beberapa yang merhatiin. Untung juga Siska dan cecungutnya belum masuk kelas. Baru sekitar sepuluh orang, termasuk Vindi yang lagi pasang earphone di pojok kursi, geleng-geleng kepala mendengar kegaduhan gue sama si Jahil itu.
"Udah kok, Lit. Baru aja tadi ada temen yang ulang tahun jadi ditraktir makan siomay,"
"Hahaha, alay banget sih!"
"Heh ...! Balikin nggak hepe gue!" kata gue sambil meninju ke arahnya yang berdiri di depan papan tulis.
"Ya, sini kalau bisa ambil!"
"Ck, lo yang alay, Gob--
Gue menahan ucapan. Aihh, gue hampir badword kan. Gue pun mempercepat langkah mengejarnya, sebelum mulut embernya membocorkan seluruh isi chat gue sama Galih. Kami jadi kejar-kejaran kek bocah TK. Sebodo sama rasa malu, yang penting hepe itu balik.
"Udah main hapenya, jangan begadang besok sekolah,"
"Ya ampun, Lit. Ngakak gue bacanya."
Tuh kan, dia undah menjat chat semalem. Gue semakin lari, melewati celah antara meja dan kursi.
"Huft, Dik-Diki balikin!"
Gue mengatur napas. Kembali berlari kemudian,
"Auhhhh!"
Gue mengaduh ketika sepatu gue mencium kaki kursi, menyebabkan tubuh kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke bawah,
Sakit!
Temen sekelas yang ngeliatin malah pada ngakak. Gak perasaan banget sih, gue jatuh beneran, nih. Dasar mereka!
"Lo nggak pa-pa, Lit?" tanya Diki menghampiri.
Gue mendongak dengan mata berkaca, hampir nangis. Dengkul gue sakit bener, Euy. Abis istirahat ini pelajaran olahraga. Mana ambil nilai mata pelajaran senam lantai lagi. Duh, gimana dong? Gue nggak mau nilainya kosong kalau gak ikut.
Ini gara-gara Diki!
Sialan!
Raut wajah jahinya ilang. Dia berjongkok merhatiin gue. Tanganya telurur balikin hape. Gue menatap sebentar, lalu menyaut hape tersebut dengan muka cemberut, kemudian beranjak dan berjalan pelan menuju bangku.
Gue mengabil kasar baju olahraga di tas, lalu berjalan tertatih keluar bersama yang lain ketika bel masuk berdering.
"Dik, lo ngapain ke sini?" tanya para cewek histeris. Gue menoleh, mendapati Diki yang ternyata mengikuti sampai pintu ruang ganti cewek.
Gue enggak ikut histeris. Cuma diem, menatapnya datar.
"Lo nggak pa-pa?" tanyanya dengan pandangan cuma terfokus ke gue. Mengabaikan para cewek yang ribut menyuruhnya pergi.
"Pikir aja sendiri!" jawab gue judes, lalu masuk ke dalam. Biar aja Diki digebukin cewek-cewek kalau sampai nekat ikut masuk.
****
Gue menatap horror matras di atas lantai itu. Membayangkan tubuh berguling di atasnya bikin gue merinding. Mungkin gak akan selebay ini kalau aja kaki gue nggak sakit gara-gara insiden di kelas tadi.
Waktu bergulir cepat. Nama gue semakin dekat buat dipanggil. Terakhir udah sampai huruf H. Telapak tangan gue keringetan. Gue cuma diem kayak orang bloon, merhatiin dari atas tribun, ruangan yang biasa dipakai buat tanding basket ini.
Dari kejauhan gue melirik Diki yang terus merhatiin ke arah gue. Tanpa membalas tatapannya, gue cuma buang muka. Dalam hati menggerutu, menyerapahi dia.
"Itu kaki lo gimana? Nggak masalah kalau ...." Vindi mengarakan mata ke matras di mana pak Bagus berdiri di sana sambil memegang absen.
Gue mengela napas. Agak sangsi juga. Buat jalan aja agak sakit, apalagi buat guling-gulingan kayak gitu.
"Jelita Rosmala!"
Gue tersentak ketika nama itu tiba-tiba udah dipanggil aja. Vindi membantu gue berdiri. Dara yang berada di dekat matras, berusaha menyemangati gue. Sementara, Diki yang duduk samping Karin, berjalan mendekat. Duh, gimana ya, makin geser yang ada ni tulang. Tadi aja waktu pemanasan gue tahan mati-matian.
"Ayok, cemen banget sih!"
Gue melirik Siska yang berkata setengah mencemooh. Dih, heran gue, masih jutek aja tu cewek sama gue. Enggak memikirkan omongan Siska, gue pun menatap pak Bagus sambil nyengir.
"Kenapa Lita? Nggak usah takut, temen-temen kamu tadi bisa kok."
Pak Bagus senyum. Huh, andai belum punya istri udah gue gebet guru olahraga baru itu. Mana masih muda lagi. Badannya macho, betotot. Gue membuang napas, heran sama diri sendiri, di saat seperti ini masih sempet aja genit. Dasar gue.
Gue pun mengangguk, lalu mengambil posisi ancang-ancang dengan kepala telungkup ke bawah.
Satu! Dua! Tiga!
"Aduh ...!
Badan gue terjengkang ke samping matras. Gila, sakit banget ni kaki. Kali ini gue beneran nangis, sambil nutup wajah. Lagi, gue diketawain. Sebagian dari mereka gak tau kalau sebelumnya gue udah ngunsup di kelas.
Gue mengelap air mata dengan tangan ketika lihat Diki entah ngomong apa sama pak Bagus. Guru itu ngangguk. Enggak lama Diki pun menghampiri gue.
"Yok, ke UKS," katanya berjongkok di dekat gue, seraya jarinya mengetuk-entuk punggung.
Gue bengong menatapnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Gaje
Teen FictionBahasa dan cerita suka-suka ala Lita. Kalian tau apa yang paling menyakitkan dalam hidup ini, yaitu penolakan! Dan kabar buruknya, gue udah pernah ngerasain itu sebanyak tiga kali. Cewek nembak cowok duluan? Ditolak? Serius, Guys! Mungkin itu...