Enggak kerasa ini udah hari terakhir ulangan akhir semester. Rasanya lega, tapi bercampur resah juga. Yang terpikir bukannya naik kelas atau enggak, tapi malah siapa diantara gue dan Diki yang rangkingnya lebih tinggi.
Agak pesimis juga sih, masalahnya Diki itu walaupun agak badung dan tukang tidur di kelas, tapi kalau ada tugas, dia nggak pernah telat ngumpul. Itu yang bikin dia dapet nulai plus di mata guru-guru.
Argghh ... bodo amat lah. Mau gue atau dia yang menang anggap aja takdir. Ngapain gue pusing-pusing mikir. Mengambil tas, gue keluar dari ruang ujian ini setelah sebelumnya pamit sama adek kelas yang gue ketahui bernama Reni.
Kalau ada yang tanya Diki, dia udah keluar dari tadi. Entah kenapa dia selalu mengerjakan soal lebih cepet dari gue. Hm, palingan nunggu di kantin atau parkiran. Kayak biasanya, semenjak pacaran dia anter jemput gue ke sekolah.
"Lit, tungguin!"
Gue menoleh ke belakang, mendengar suara gedebukan sepatu itu. Ternyata si Karin. Tu cewek mengatur napas lalu berjalan di samping gue.
"Kenapa, Rin?"
"Hehe, nggak pa-pa. Cuma pengen bareng aja ke parkiran."
"Oo," gue mengangguk.
"Emm, Rin!"
Karin menoleh. "Hm?"
"Ngomong-ngomong gimana sekarang hubungan lo sama Galih? Gue udah jarang banget liat dia jemput lo?"
Sebenarnya gue nggak bermaksud kepo sama hubungan mereka. Gue cuma penasaran aja sama kabarnya Galih. Kangen juga sih sama tuh bocah, hehe. Udah lama gak kontekan sama dia.
Hal yang paling nyesek, ketika orang yang dulunya jadi temen chat, sekarang cuma jadi penonton story. Itupun kadang, hm. Gue menoleh, Karin tersenyum tipis.
"Baik-baik aja, kok. Memang pacaran harus anter jemput tiap hari?"
Jleb. Gue menggeleng. Iya juga ya. Emangnya gue gak dianter waktu marahan aja, udah mikir macem-macem. Maklum, Cuy. Gue kan masih perdana pacaran. Istilahnya masih amatir, wkwkwk.
"Gimana kabar Galih, Rin?"
"Kurang baik," jawab Karin lirih.
"Ha ...?"
"Mbah yang tinggal serumah sama dia meninggal, Lit."
"Inallilahi..." Gue menutup mulut. "Kok Galih gak ngomong, ya. Kan gue jadi gak enak gak deteng."
"Nggak apa-apa kok."
"Kapan meninggalnya btw?"
"Dua hari yang lalu."
"Pasti Galih sedih banget. Dia dulu pernah cerita kalo mbahnya itu deket banget sama dia."
"Hu, um." Karin menunduk.
Menurut cerita Galih sih dibanding ibu dia malah lebih deket sama mbahnya. Kalau ngadu apa-apa sama mbah utinya itu, soalnya mamanya Galih itu lumayan galak. Begitu sih yang dia ceritain dulu. Pasti tu cowok bener-bener terpukul. Gue jadi pengen jenguk ke rumahnya.
"Rin, kalo gue mau ke rumah Galih, boleh?"
Karin menyerengit, lalu tertawa kecil. "Ya boleh lah, kenapa harus dilarang?"
"Hehehe."
Sampai parkiran gue pas banget ketemu Diki. Tu cowok baru aja mau marah-marah, tapi gue udah nyela. "Gue mau ke rumah Galih."
"Haa ..." Diki awalnya ngelarang, tapi setelah gue jelasin tujuan gue ke sana, dia bilang,
"Yaudah gue anterin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Gaje
Novela JuvenilBahasa dan cerita suka-suka ala Lita. Kalian tau apa yang paling menyakitkan dalam hidup ini, yaitu penolakan! Dan kabar buruknya, gue udah pernah ngerasain itu sebanyak tiga kali. Cewek nembak cowok duluan? Ditolak? Serius, Guys! Mungkin itu...