22. Jadi Babu

657 67 4
                                    

Hari minggu yang menyebalkan. Mungkin cewek-cewek akan mengatakan harusnya gue seneng karena didatengin dan diajak pacar mingguan. Tapi, kalau pacarnya Diki gue nggak bersyukur sama sekali.

Bukannya gue songong atau sok kecakepan. Masalahnya dia tu orangnya gak bisa diduga. Dan sekarang gue nggak tau mau diajak ke mana, karena tiap gue tanya dia cuma jawab,

"Udah, ikut aja."

"Gila aja, kalau gue mau diajak ke jurang, mana mungkin gue main ikut-ikut aja."

Terdengar decakan. Tapi dia tetep fokus ke jalan raya. Wajar aja dia gak bisa tengak-tengok, sekarang kan kita lagi naik motor, bukan mobil seperti biasannya. Jadi, kalau dia meleng, bisa-bisa kita jadi prekedel di jalanan.

"Bisa enggak lo nggak berpikiran jelek sehari aja sama gue. Emang gue sejahat itu, ya?"

Duh, kok dia jadi baper sih. Gue lebih suka nada bicaranya yang usil dibanding serius kayak gini. Tanpa menanggapi, gue lebih memilih menikmati terik matahari pukul sepuluh pagi. Lumayan bisa leluasa memandang sekitar sembari ngibarin rambut kek iklan shampo. Setidaknya sampai batu kecil di jalan bikin badan gue terdorong, menempel di badan Diki. Dia ketawa kecil sambil ngejek gue modus.

"Enak aja lo tu yang modus!"

Begini nih susahnya diboceng pake motor gede. Selain rawan kejadian tak terduga seperti tadi, gue juga ngarasa gak nyaman karena tubuh yang harus condong ke depan. Untung aja gue pake celana jeans dan baju sepaha, jadi gak perlu ada pemandangan kek cabe-cabean. Iyuh!

Motor Diki memasuki gerbang rumah bercat putih. Rumah yang terlalu besar atau kecil, pokoknya sedeng-sedeng aja. Sambil melepas helm dan turun dari motor, gue tanya, "Rumah siapa?"

"Ini rumah Dino," jawab Diki sambil menarik tangan gue. Gue berusaha menyamai langkah lebarnya. Bener-bener gak ada slow-nya. Berasa narik sapi kali, ya.

"Eh, ngapain ke rumah Dino?"

Dino juga temen sekelas gue, atau lebih tepatnya temen segeng Diki. Biasanya kalau ada Diki dan Dino, pasti ada Jalu juga. Dan mereka merupakan cowok satu spesies, menyebalkan semua. Nggak segan membully atau nyuruh-nyuruh cewek di kelas. Termasuk Dara yang udah sering jadi korban suruhan mereka.

Gue menarik tangan ketika sampai depan pintu. "Lo itu apaan sih ngajak gue ke rumah cowok?" Gue menatapnya horror. "Jangan-jangan lo?" tujuk gue ke mukanya.

Diki menyingkirkan telunjuk gue dengan kasar. "Gak usah mikir macem-macem," dia menurunkan pandangan, menatap gue dari atas ke bawah. "Kerempeng gitu!"

Apa?

Gue melipat tangan, menatap bengis. Dasar kurang ajar. Udah masuk body sharming itu. Pingin banget gue lempar naskah Undang-Udang yang melarang menghina fisik seseorang.

Diki kembali mengambil tangan gue dan menariknya ke dalam. Benar kan, dua teman Diki itu lagi leyeh-leyeh di sofa sambil memainkan ponsel di tangan. Biasa cowok-cowok, pasti lagi ngegame.

Dino yang pertama kali menoleh, senyum ke gue. "Eh, Lita, sini duduk, baru pertama kali kan lo maen ke rumah gue."

Gue cuma membalas dengan senyum seadanya. Males sebenarnya nanggepin. Walau udah hampir setahun sekelas, tapi gue emang gak akrab sama dua cowok itu. Terlebih Jalu yang lebih perdiem dibanding double D tersebut.

Lagi-lagi Diki menarik tangan gue menghampiri teman-temanya. Gue duduk dengan kikuk, merasa gak nyaman sama situasi ini.

Jalu menggedikkan dagu. "Ternyata lo beneran ajak dia."

"Yaiyalah, kan lumayan bisa melayani kita."

"Ya juga ya, mumpung nyokap sama bokap gue gak ada."

Cewek GajeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang