Andai gue punya kuku macan, mungkin udah gue gunain buat nyakar orang yang duduk berjarak satu meja di belakang gue!
Gimana nggak kesel coba, daritadi lemparan kertas yang digulung kecil-kecil mengenai tubuh gue. Pelakunya siapa lagi kalau bukan cowok yang ribut sama gue di parkiran tadi pagi.
Oke, tarik napas, hembuskan.
Gue masih mencoba sabar dan membiarkan, walau dalam hati gue pengen ngumpat berkali-kali, tapi tetap gue tahan sampai saat ini. Efek sampingnya, gue jadi nggak fokus sama apa yang guru itu jelasin. Padahal bahasa Indonesia termasuk pelajaran yang gue sukai, meskipun gue ngga pinter-pinter banget sih.
"Muka lo kenapa sih, Lit? Kok kayak orang nahan boker gitu?" bisik Dara yang duduk di sebelah gue.
Gue noleh sebentar, kemudian membuka halaman buku paling belakang dan nulis jawaban gue di sana, karena lagi males ngomong.
Membaca sekilas, Dara noleh ke belakang. Beberapa saat kemudian, Dara nyenggol lengan gue dan nyuruh nengok ke ke belakang juga.
"Pstt, lo dipanggil Diki tuh," bisik Dara.
"Bodo amat," jawab gue tanpa suara.
"Katanya penting!"
"Nggak perduli!"
"Coba lo noleh bentar, siapa tau beneran penting."
"Biarin aja."
"Tapi, Lit. Kata Diki--
"UDAH GUE BILANG NGGA PENTING, TENTANG DIKI APAPUN ITU NGGAK PENTING!"
Gue langsung nutup mulut begitu sadar semua mata memusat ke gue. Ini gara-gara kekesalan yang udah memuncak. Mulai dari kejadian kemarin, insiden tadi pagi, dilemparin kertas daritadi, ditambah Dara yang nggak ngerti situasi, bikin gue frustrasi.
Hening.
Mata Bu Arum membulat, mengarah ke gue. Huh, sebentar lagi masalah baru akan terbuka. Selamat!
"Apa-apaan kamu ini?" mata Bu Arum menajam, gue menunduk menghindari tatapannya.
"Maaf, Bu," ucap gue merasa bersalah.
"Kamu itu sedang ada di kelas, bukan kebun binatang. Kenapa teriak-teriak kayak gitu?"
"Dia mana tau, Bu. Bedanya kelas dan kebun binatang, hahaha." Terdengar suara tawa yang menyebalkan.
Guru itu mengalihkan padangannya. "Untuk apa kamu tertawa? Memangnya ini acara stand up comedy?"
Sukurin lo, kena semprot juga, kan!
Diki membuang muka sebentar, sebelum menjawab, "Maaf, Bu."
Bu Arum mengela napas, kemudian melangkah menuju tempat duduknya. Mata tajamnya ia layangkan ke segala arah. "Apa kalian tidak menghargai saya sebagai guru?"
Lalu tatapan itu berhenti ke gue. "Terutama kamu!" sambungnya. "Siapa nama kamu?"
"Lita!" jawab serempak satu kelas. Gue memutar bola mata.
Merasa tersudut, akhirnya gue angkat bicara, "Maaf, Bu, sebelumnya. Tapi ini gara-gara saudara Diki yang duduk di belakang itu berulang kali menganggu dengan melempar gumpalan kertas ke tubuh saya," adu gue.
Tak tinggal diam, Diki pun protes. "Kok jadi gue yang lo salahin?!"
"Ya emang elo kan. Gue ngomong fakta bukan fiksi!"
"Cukup!"
Guru bahasa Indonesia itu menggebrak meja dengan keras. "Kalian itu sudah SMA, tapi masih seperti anak TK!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cewek Gaje
Fiksi RemajaBahasa dan cerita suka-suka ala Lita. Kalian tau apa yang paling menyakitkan dalam hidup ini, yaitu penolakan! Dan kabar buruknya, gue udah pernah ngerasain itu sebanyak tiga kali. Cewek nembak cowok duluan? Ditolak? Serius, Guys! Mungkin itu...