Tit.. Tit.. Tit..
Memandang hamparan luas di ujung depan tatapannya, ditemani segugur beberapa daun yang telah kering dan tak mampu menopang tangkainya pada ranting. Daun itu menerpa wajahnya, membelai permukaan merah yang membekas jejak air mata tertahan. Pipi mulusnya menjadi sedikit lengket karena gambaran lekukan abstrak hasil karya air mata.
Dimana dirinya sekarang, kenapa dirinya sekarang, apa yang dilakukannya sekarang. Apa patut yang seharusnya kalimat-kalimat itu ditunjuk sebagai pertanyaan justru memberi lebih pada kenyataan bahwa ia sendiri tak tahu keberadaannya dan apa yang dilakukannya disini?, ditempatnya terduduk sendiri.
Tit.. Tit.. Tit..
Kalau saja matanya lebih lihai dari tupai, menemukan tumpuan lalu melompat, ia pasti sudah melakukan itu dari awal ia kebingungan seorang diri disini. Tapi sama sekali tak ada tumpuan dari lubang cahaya dihadapannya.
Tunggu!
Untuk apa adanya lubang itu? Tanpa suara tentunya, ia terheran pada lubangnya--lubang bercahaya yang sejak beberapa menit lalu tiba-tiba muncul dan membesar sendiri ukurannya. Tatapan kosongnya benar-benar kosong saat yang ada dihadapannya adalah kilau tanpa goresan pemandangan sedikit pun. Kilaunya memang begitu menyilaukan, tapi maniknya masih bisa terbuka lebar mencurigai isi didalamnya.
Tit.. Tit.. Tit..
Sekelebat cahaya yang lebih meyilaukan akhirnya datang. Datang untuk membuat maniknya sembunyi dibalik kelopak matanya. Matanya benar-benar tak bisa dibuka saat itu. Namun sesaat setelah itu, setelah semua dirasa meredup, ia membuka kembali matanya perlahan. Tak ada lagi cahaya menyilaukan, tak ada lagi kilatan cahaya yang tak bisa membuat matanya terbuka.
Tidak ada sihir atau mantra, seperti sulap tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya dengan gaun putih anggunnya berdiri mengukir senyum tepat dihadapannya. Senyum lembut dari bibir renta yang sangat ia kenal, yang masih hangat ketika dipandang, dan yang sama sekali tak pernah hilang dari sejarah ingatan di memorinya.
Tittittittittitt...
Keduanya sama-sama tersenyum, mengurai isak pelan di ujung bibir masing-masing yang nampak bergetar. Belum ada satupun kata yang terlontar. Mereka masih diam menunggu, menunggu ungkapan kerinduan dari satu sama lain.
"Kau tidak merindukan eomma?" akhirnya sang wanita berucap lebih dulu, terdengar halus dan penuh kelembutan. Membuat yang dihadapannya semakin tersenyum dengan isakan tertahannya.
Dia terlampau bahagia sekarang, karena dapat lagi menatap sosok ibu yang selama ini sangat jauh darinya. Jauh dari kata jarak dengan kilometer, ini bahkan lebih susah dijangkau walau untuk ia memimpikannya.
Tangan renta yang masih kuat ditunjukan itu kini terangkat, membuat sebuah rentangan yang cukup untuk didekap. Tanpa menunggu lebih lama lagi untuk kembali mengerti maksud itu, ia langsung menjatuhkan tubuhnya diantara rentangan kedua tangan ibunya. Tentu saja jatuhnya berada pada pelukan sang ibu kini. Kemudian dengan erat dekapan mereka bersatu, menyalurkan kerinduan dan kebahagiaan disana--dihati masing-masing.
Isakannya kembali lepas, kali ini bukan tertahan karena maunya tapi karena wajah yang ia benamkan pada bahu sang ibu. Seraya memeluk begitu erat seakan tak akan pernah lagi melepaskan sosok dihadapannya itu.
Tittittitt tittittitt...
Ini bukan rindu biasa. Tapi pernyataan tanpa kata tentang bagaimana seorang anak terpisah dari ibunya tanpa persiapan. Makna tersirat didalamnya hanya mereka yang tahu. Tuhan? Tentu saja, karena Dia yang membuat itu ada.
"Bisakah seperti ini saja?" suaranya akhirnya muncul, walau terdengar lirih dan parau tapi permohonan didalam katanya jelas sang ibu tahu.
Dekapannya terurai. Ia bahkan sama sekali tidak mengendurkan posisi erat lengannya untuk mengaitkan tubuhnya dengan tubuh sang ibu. Sang ibu pun masih terasa mengusap punggungnya dengan tempo senada dari awal. Tapi kenapa bisa terlepas? Membuat dahinya berkerut dengan alis yang manaut--bingung dan tak percaya.
"Tuhan yang memisahkan" lagi, suara nan syahdu terdengar mengusap hatinya. Tangan sang ibu mengelus lembut pipi dan puncak kepalanya.
Kerutan dahinya memudar, ia melepas tautan alisnya tapi seketika air mata yang sempat berhenti tadi kembali mengalir, tanpa isakan kali ini. Tangan lembut ibunya terulur menghapus jejak air mata dipipi mulusnya. Mengusap ujung bibirnya dengan sedikit ditarik agar ia menunjukan senyumnya lagi. Ia hampir kembali merengkuh tubuh sang ibu tapi sang ibu sendiri melangkah mundur ketika pelukan itu akan kembali terjadi.
"Eomma kemana?" tanyanya, ketika saat sang ibu melangkah mundur justru semakin mundur dan ia sama sekali tak bisa mengangkat kakinya dari posisinya, "aku ikut" ia berusaha mengangkat kakinya untuk membuat langkah mendekati sang ibu, tapi nihil--tak berbuah apa-apa usahanya.
"Kembalilah, hanya jangan melupakan eomma" itu suara sang ibu yang menggema ketika sosoknya semakin menjauhinya.
Sosok ibunya sudah sangat jauh, tapi lubang yang kembali tercipta sangat besar ada dihadapannya. Yang ia yakini itulah tempat sang ibu. Ketika kakinya berhasil ia gerakan dan dengan cepat ia meraih lubang dihadapannya.
Tittittittittittitt titt..
Kalah cepat. Entah mantra apa yang digunakan, tapi seperti sihir sekejap lubang itu menghilang, menghimpit ujung jemarinya yang sudah hampir masuk. Menyuguhkan kembali pemandangan kosong dihadapannya. Kakinya melemas, ia terduduk tersedu dengan tangisannya.
Beberapa saat, sampai ia kembali terduduk dengan tatapan kosong seperti adegan awalnya.
***
Tittittittittittitt titt..
"Ji! Jiyong" Nyonya Manoban yang sedari tadi duduk di sebelah ranjang Jiyong panik ketika alat perekam detak jantung yang terpasang dengan beberapa kabel di dada Jiyong menyuarakan suara tak beraturan.
Suara paniknya terdengar membangunkan dua orang yang sedang tertidur di sofa tak jauh dari ranjang Jiyong. Dengan segera keduanya menghampiri Nyonya Manoban yang sangat panik disamping Jiyong.
"Ada apa, mom?" Yongbae bersuara, ikut panik melihat Nyonya Manoban.
"Badannya bertambah panas, panas sekali" panik Nyonya Manoban dengan nada kekhawatiran yang begitu jelas. Masih dengan paniknya mengusap kening dan wajah Jiyong yang sebagian masih tertutup selang oksigen untuk membantunya tetap bernafas dalam keadaan kritisnya.
"Seungri! Panggil paman!" seru Yongbae pada orang disebelahnya yang juga tak kalah panik. Segera Seungri berlari mencari keberadaan pamannya yang saat itu tengah berada di kantin rumah sakit bersama Seunghyun.
"Paman Soonho! Jiyong hyung!" teriak Seungri sembari menghampiri pamannya.
Mendengar nada panik dari Seungri yang justru membuat paman Soonho bingung, Seunghyun tiba-tiba berlari. Mengerti kepanikan Seungri dan Seunghyun dengan cepat ingin mengetahui keadaan dan apa yang terjadi pada Jiyong. Melihat Seunghyun yang seketika saja berlari, paman Soonho mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih dulu pada Seungri, ia juga melangkah cepat menuju ruang rawat Jiyong.
"Ada apa dengan Jiyong?!" Seunghyun dengan kasar membuka pintu lalu menghampiri Nyonya Manoban dan Yongbae yang tak bisa berbuat apa-apa pada kondisi Jiyong.
Ia menghampiri Jiyong yang masih setia tidur, terlihat tenang walau perekam jantungnya berbunyi cepat. Seunghyun mencoba tetap tenang dan menahan air mata yang siap jatuh kapan saja jika melihat kondisi Jiyong yang mengkhawatirkan seperti ini.
Alat perekam detak jantungnya berbunyi tak beraturan. Badan Jiyong sekarang panas tinggi. Membuat orang-orang kalap dengan kepanikan dan kekhawatirannya.
***
Tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wrong [selesai]✔️
FanficKapan penyesalan dimulai? Kapan penyesalan selesai? __________________________ Rank #1 Fiksi Penggemar on 1st September 2020 Rank #1 Kwon Jiyong on 20th February 2021