Bagian 25

2.5K 151 6
                                    

Raja berdiri gelisah didalam lift, seandainya ia memiliki kekuatan sungguh sekarang ini ia sudah berada dirumah Rania begitu umpamanya perasaannya yang menggebu-gebu untuk menemui Rania saat ini.

Dengan pelan Raja memukul kepalanya kenapa selama satu minggu ini ia tidak kepikiran untuk memaksa menemui Rania lalu menjelaskan semuanya. Memangnya apa yang harus ia jelaskan pada Rania?

Tentu saja meminta maaf atas sikap tidak gentle nya yang mengabaikan Rania di pesta itu. Sialan. Raja selalu ingin menyumpahi dirinya sendiri ketika mengingat bagaimana ia mengabaikan Rania malam itu wajar saja jika gadis itu menghindari dirinya seperti ini.

Ting!!

Raja segera melangkah ketika pintu lift sudah terbuka, dengan cepat ia berjalan menyusuri lobi menuju parkiran mobilnya bahkan ia mengabaikan semua sapaan karyawannya saat ini fikirannya hanya tertuju pada Rania.

"Telah terjadi sebuah kecelakaan di rel kereta api dini hari tadi. Menurut salah seorang warga yang menjadi saksi mata kejadian naas ini, beliau mengatakan bahwa wanita yang menjadi korban itu dengan sengaja melangkah menuju rel kereta api."

Raja terus melangkah hingga sampai diparkiran dengan cepat ia memasuki mobilnya tak berapa lama mobil mewah keluaran terbaru itu melaju meninggalkan kantor. Raja terus memacu mobilnya bergabung dengan kemacetan yang lagi-lagi membuatnya mengumpat.

Drrrt... Drrrtttt...

Ditengah kekesalannya getaran ponsel disaku celana membuat Raja tersentak, dengan sedikit terpaksa Raja merogoh saku celananya mengambil benda pipih tersebut, senyumannya berubah malas ketika melihat nama yang tertera di panggilannya.

Raja melempar ponselnya keatas dashboard mobilnya lalu kembali menatap deretan panjang mobil dihadapannya, di jam-jam makan siang seperti ini tidak heran jika jalanan macet.

Drrrtt.. Drrrtt..

Ponsel miliknya kembali bergetar kali ini panggilan dari sang Nyonya hingga membuat Raja menjangkau tangannya untuk mengambil ponsel yang tadi ia lempar.

"Halo Mi, Mas lagi nyetir ini."

Raja langsung berbicara bermaksud untuk membuat Maminya segera mengakhiri panggilan ia sedang tidak dalam mood baik saat ini.

"Mas ini berita penting, kamu belum lihat berita atau baca koran ya?"

Raja mengernyit ketika mendengar suara panik Maminya lalu sejak kapan Mami menelfonnya hanya untuk menanyakan ia sudah baca koran atau belum?

"Mas sibuk banget Mi, jadi belum sempat lihat atau baca berita apapun hari ini."Raja mengapit ponsel menggunakan bahunya ketika mobil di hadapan mulai melaju.

"Rania gadis cantik pujaan hati Mami, menantu idaman Mami benar Putri dari Aji Ramlan dan Amelia Ramlan?"

Raja semakin bingung ketika mendengar rentetan pertanyaan Maminya, "Iya Mi. Kan Mas udah bilang minggu lalu semua tentang Rania."sahut Raja setelah kembali memegang ponselnya.

Raja memang sudah menceritakan semuanya pada keluarganya ketika niatnya sudah tidak main-main ingin memiliki Rania, Maminya hanya terpaku ketika mengetahui asal usul gadis cantik itu.

"Mami nggak nyangka dibalik kesederhanaannya ternyata ia putri tunggal sekaligus pewaris perusahaan sebesar Ar Group."

Raja membenarkan itu semua, jika gadis lain mungkin mereka akan menujukkan kekayaan dan juga kekuasaannya sebagai pewaris tunggal namun itu semua sama sekali tidak berlaku untuk gadis pujaan hatinya.

Rania.

"Mas.. Halo.. Mas kamu dengerin Mami nggak sih!!"

Raja tersentak kaget ketika mendengar teriakan sang Mami yang berhasil membuat gendang telinganya berdenging, "Iya Mi mas denger kok."

"Mamanya Rania meninggal dini hari tadi."

Seketika tubuh Raja terpaku, aliran darahnya mengalir deras bahkan dentuman detak jantungnya terasa seperti memukul rongga dalamnya, "Ma--mami tahu darimana? Jangan asal Mi mungkin itu hoax doang."

"Mami lihat berita terus Papi juga mendapat kabar duka itu dari rekan bisnisnya hingga kemungkinan berita itu benar adanya Mas."

Tak lama Raja mendengar isak tangis Maminya di seberang sana, kepala Raja tiba-tiba blank ia seperti kebingungan sendiri bahkan ponselnya sudah terjatuh ia tidak menyadarinya perasaannya sekarang hanya tertuju pada Rania.

Ya Tuhan. Tolong jaga Rania.

Raja tidak membayangkan bagaimana hancurnya Rania-nya saat ini. Raja menekan klakson mobilnya ia sudah tidak perduli apapun sekarang yang ia inginkan hanya bertemu Rania, memeluk erat gadis itu menyatakan bahwa bahunya selalu tersedia untuk menjadi sandaran Rania.

*******

Rania menatap kosong kearah pemakaman, gundukan tanah liat yang sudah berhias bunga warna-warni itu terlihat begitu menyeramkan dimata Rania. Setengah jam sudah berlalu setelah jasad sang ibu dimasukkan kedalam tanah.

Rania masih berdiri kaku sambil menatap kearah gundukan tanah yang menyembunyikan tubuh ibunya dibawah sana. "Ayo kita pulang non."Ajak mbok Inem yang dibalas gelengan oleh Rania.

Keributan diluar area pemakaman semakin membuat keinginan Rania untuk meninggalkan area pemakaman hilang, ia ingin menemani Ibunya.

"Nia disini aja mbok. Kasihan Mama sendirian kalau Nia ikut pulang mbok pulang duluan saja."Ujar Rania tanpa mengalihkan pandangannya dari makam sang ibu.

Mbok Inem berusaha kuat menahan isakannya, sedari dulu nona mudanya ini selalu menderita. Tidak Tuan besar tidak almarhumah Nyonya mereka sama-sama menyakiti putri mereka.

Mbok Inem berlalu meninggalkan Rania sendirian, ia tahu nona mudanya sedang ingin sendirian didalam hati ia cuma berharap seiring berjalannya waktu nona mudanya kembali tersenyum seperti sedia kala.

Sepeninggalan Mbok Inem, tubuh Rania merosot jatuh terduduk di atas tanah. Pandangannya masih kosong, sejak dini hari tepatnya saat tiba-tiba ambulance memasuki pekarangan rumahnya membawa tubuh kaku ibunya Rania mulai menampilkan tatapan kosong seperti sekarang ini.

Pandangan matanya begitu hampa, bahkan tidak ada jejak airmata sama sekali dimata bulat itu.

"Kenapa harus seperti ini Ma?"tanyanya dengan suara terdengar begitu lirih.

Rania menyusuri gundukan tanah liat dihadapannya, "Kenapa Mama pergi sebelum menebus dosa Mama sama Papa dan juga Nia Ma?"Suara Rania berubah keras dengan pandangan mata menyala, "Nia berusaha mati-matian menyembunyikan keburukan Mama dibelakang Papa supaya Mama bisa sadar bukan memilih bunuh diri sebagai jalan keluarnya Ma!"

"Mama bangun! Nia mau peluk Mama. Nia mau cium Mama. Tolong Ma. Kali ini saja Nia mohon kabulkan keinginan Nia."

Akhirnya tangis Rania pecah, Rania menangis hebat dengan tubuh terguncang akhirnya gadis itu meluapkan semua perasaannya. Gadis itu meraung sambil memukul pelan makam ibunya.

Rania hancur, bahkan disaat seperti ini ia harus melewati semuanya sendirian. Tidak ada pelukan hangat dari orang-orang tercintanya, tidak ada usapan menenangkan yang sempat ia harap dari sang Papa tapi sampai saat ini sang Papa tidak menunjukkan kehadirannya.

Rania benar-benar melewati semuanya sendirian.

"Kalau Mama mau pergi kenapa Mama nggak ajak Nia Ma?! Kenapa? Nia nggak mau tinggal sendirian didunia ini. Nia nggak mau. Bawa Nia Ma, bawa Nia sama Mama."

Rania meraung sambil terus memukul makam ibunya, "Tidak apa-apa Mama tidak menyayangi Nia disana, tidak apa-apa jika disana Nia kembali Mama abaikan yang penting Nia bisa lihat Mama, Nia mau Mama. Bangun Ma! Bangun!"Teriak Nia dengan tangisannya semakin keras.

Rania hampir merosot terjatuh diatas gundukan tanah ibunya sebelum sebuah pelukan hangat merengkuh tubuhnya. Rania terpaku tangisannya tiba-tiba terhenti sampai suara si pemeluk dirinya itu kembali meruntuhkan pertahanannya tangisan Rania kembali terdengar begitu menyayat hati.

"Menangislah jika itu membuatmu lebih baik tapi berjanjilah setelah ini kamu akan melewati semuanya dengan senyuman. Aku disini sayang, setelah ini aku berjanji hanya akan ada kebahagiaan untukmu. My Rabbit."

*******

Because Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang