Tepat di depan gang besar yang mengarah ke tepi pantai, jari-jariku sibuk mengetuk atap mobil angkot sambil berseru, "Bang, stop sini aja!"
Angkot pun berhenti, tepat di depan dua orang wanita yang sedang berdiri menunggu sambil bermain handphone.
Begitu aku turun dan membayar, si Abang angkot juga menawarkan tumpangan pada mereka. Kedua wanita itu menerimanya, mereka masuk ke dalam angkot.
Aku masih harus berjalan cukup jauh dari rumah. Tak masalah, aku sih senang-senang saja. Berjalan bebas tanpa ada orang yang melihatmu dengan aneh, mungkin kedengaran sederhana buat orang lain, tapi aku mengalaminya hampir setiap hari.
Bagaimana tidak? Setidaknya ada satu orang pria yang akan mengikutiku. Sampai aku capek melarang pun, orang itu takkan melepaskan kewaspadaannya terhadapku.
Tak hanya itu, aku juga masih harus menghadapi tatapan heran orang-orang yang melihat ada pria yang mengikutiku terus. Tatapan yang berisi keingintahuan atau cemooh. Buat apa coba remaja sepertiku dikawal-kawal begitu?
Sebenarnya aku anak biasa aja. Aku bilang itu juga ke Papaku. Kalau tak ada seorangpun yang tahu siapa Papaku, maka aku akan terlihat seperti anak-anak remaja normal.
Tapi sampai mulutku lepas meminta pengertian Papa, ia takkan pernah membiarkanku lepas dari pengawasan dan kendalinya.
Makanya aku ini ahlinya melarikan diri dari pengawalan. Dalam setahun, aku bisa berganti pengawal hingga 20 orang.
Teknikku macam-macam, mulai dari sekedar pura-pura sakit dan melarikan diri di rumah sakit, mengatakan aku harus les dan meloloskan diri lewat pintu belakang, minta dibelikan sesuatu agar aku bisa lari, atau seperti hari ini... ketika kesempatan datang tanpa terduga.
"Om! Aya mau beli buku di mal," kataku ketika bel pulang sekolah tadi.
Pengawalku, Om Doni, mengangguk saja dan ia mengantarku ke toko buku di sebuah Plaza. Semua terlihat normal.
Kami sampai di toko buku, sementara Om Doni memastikan diriku berada di dekatnya sambil berpura-pura baca buku.
Ya berpura-pura kataku... masak ada pengawal baca 'Latihan Berhitung untuk Balita' atau 'Aneka Macam Boneka Flanel'???
Om Doni itu belum menikah. Usianya juga hanya terpaut beberapa tahun dariku. Tapi aku terbiasa memanggil semua pengawalku sejak dulu dengan sebutan 'Om'. Jadi meski ia lebih cocok sebagai kakakku, aku tetap saja memanggilnya seperti pengawal-pengawalku sebelumnya.
Setelah membayar, sebenarnya aku mau pulang langsung bersama Om Doni. Tapi dari depan kasir, aku melihat Om Doni bicara dengan salah satu SPG yang bertugas di toko buku itu. Ketika kudekati, mereka tak sedang bicara, lebih tepatnya berdebat.
"Pak, maaf... ini kenapa segel bukunya dilepas? Ini buku kain, kalau kotor nanti tidak bisa dijual." tanya si SPG.
Om Doni bingung. Ia melihat ke buku yang sedang dipegangnya. "Dari tadi emang sudah begini, Mbak. Bukan saya yang melakukannya."
Aku mengintip buku yang dipegang Om Doni dan tak sadar aku meringis.
Yeee, Om Doni kenapa juga buku kain untuk bayi dipegang-pegang!?! Menyamar sih menyamar, tapi mbokya jangan terlalu keliatan gitu boongnya.
Orang-orang ikut memandangi Om Doni dan Mbak SPG itu, aku yang memang sudah sangat khatam melihat kesempatan, jadi terpancing untuk melarikan diri. Apalagi kulihat si Mbak SPG begitu sengit berdebat dengan Om Doni.
Sambil tersenyum-senyum licik, aku kabur dari pengawasan Om Doni. Kupilih naik angkot, yang hanya bisa kulakukan jika berhasil melarikan diri.
Eh, tunggu dulu! Tidak juga kok. Beberapa minggu lalu aku pernah bilang ke Papa, aku ingin naik angkot dan hasilnya adalah...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...