8. A Runaway Plan

31.1K 2.8K 9
                                    

Aku tak tahu kalau hanya dalam beberapa hari sejak Kak Malik mengatur hidupku, segalanya akan berubah.

Papa masih belum kembali dari konferensi dunia yang ia hadiri, malah sekarang Mama juga ikut pergi ke New York untuk mengajak dua putranya jalan-jalan bersama.

Kata Mama, suatu hari adik-adikku akan bersekolah di kota itu. Mama pernah menawariku, Papa apalagi.

Tapi aku selalu menolak. Bahkan kemudian Papa menjadikan ancaman sekolah di kota itu sebagai cara menghentikan kenakalanku.

Ini tidak pernah terjadi. Mama tak pernah meninggalkanku tanpa Papa, atau sebaliknya.

Namun, setelah mereka melihatku begitu patuh menjalani aturan baru Kak Malik, mereka tenang-tenang saja meninggalkanku.

Sebenarnya, selama perubahan ini aku baru tahu kalau bangun di pagi hari akan menjawab banyak sekali pertanyaan yang selama ini berputar-putar di kepalaku.

Belasan tahun baru aku mengerti kenapa aku tak pernah melihat ada staf Papa atau para pengurus rumah tangga yang ikut sarapan pagi bersama kami.

Kukira itu karena mereka makan di dapur. Ternyata karena mereka makan lebih pagi dari aku dan Papa. 

Mama dan adik-adikku juga sama. Mereka lebih memilih sarapan pagi bersama para staf dibandingkan dengan aku atau Papa.

Bocoran dari Bibi yang baru kudengar, itu karena Mama tak suka melihat perdebatanku dan Papa yang selalu terjadi setiap kali kami sarapan bersama.

Aku sih tidak heran. Papa memang terlalu bawel.

Awalnya aku canggung makan bersama para staf itu, bahkan dengan Mama dan adik-adikku. Aku memilih diam sepanjang waktu, tapi lama-lama terpancing tawa mendengar obrolan bernada canda diantara mereka.

"Kak Reno! Dapat salam dari Layla tuh. Puti lupa info semalam," kata Kak Puti saat kami tengah sarapan bersama. 

Kak Reno, salah satu dari dua asisten Papa yang pendiam itu mengangkat wajah dan mengangguk, "Oh!" Lalu kembali tepekur melihat ke nasi gorengnya. Santai melanjutkan makan.

Kening Kak Puti berkerut. "Kok cuma 'oh', gak ada tambahannya?"

Kembali Kak Reno mengangkat wajahnya, "Oh, makasih banyak," jawabnya datar tanpa ekspresi. Kak Puti terlihat kesal, tapi ekspresi Kak Reno yang mirip Kak Malik membuatku menahan senyum.

"Kok aku gak ditanya sih, Put? Reno mulu yang dicarikan pacar. Aku gih ditanya punya pacar apa enggak," sergah Om Alam, supir Papa yang usianya sudah lewat 35 tahun dan masih lajang.

Kak Puti menoleh dengan lirikan malas. "Duh, Kak, sekali lihat juga kita udah tahu kalo Kak Alam belum punya pacar."

"Ya makanya carikan," sambar Om Alam cepat sambil meraih gelas kopinya.

"Hmm baiklah... walaupun kayak Kakak, aku yakin entar ada juga yang mau turunkan standarnya. Teman-temanku baik kok, toh sekarang sih cari pacar juga gak perlu yang cakep-cakep banget," ujar Kak Puti santai.

"Kok gitu?" tanya Om Alam bingung.

"Yaaa Kak Alam kan udah jelek, jadi pas putus nanti dijelek-jelekin sama mantan pun gak masalah. Ya kan?" goda Kak Puti sembari melempar tatapan jenaka.

Kopi yang sedang diseruput Om Alam pun menyembur. Semua orang tertawa, termasuk aku. Hanya Kak Malik yang justru diam menatapku. Hanya satu garis senyuman tipis muncul di wajahnya. 

Meski kini aku bisa tidur lebih baik, tapi namanya diatur tetap saja tak enak. Aku ingin jalan, dilarang. Aku ingin bolos, tidak ada harapan. Aku ingin makan saja, malah ditarik pulang.

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang