Aku tersadar di rumah sakit. Aku ingin menggerakkan leherku. Tapi sesuatu yang keras menahannya. Ah, penyangga leher!
"Sayang, sayang! Ayari! Ayari!" Suara-suara memanggilku terdengar, tapi mataku kabur sekali. Lebih parah daripada saat aku tidak mengenakan softlens.
"Di...ma...na?" tanyaku lirih pada bayangan di dekatku.
"Kamu di rumah sakit, Ya. Pesawatmu gagal terbang. Tapi kamu baik-baik saja, Nak," kata seseorang itu menjelaskan. Suaranya serak dan bergetar.
Kupejamkan mata mengingat-ingat. Pesawat, suara ledakan, hempasan, teriakan... Ya, pesawatku mengalami kecelakaan. Aku bisa merasakan air mataku mengalir. Membayangkan betapa dekat kematian padaku sekali lagi.
"Ssssh... Sssh... sayang, sudahlah. Jangan menangis! Jangan menangis!"
Itu suara Mama. Aku mengingatnya sekarang. Perlahan, kubuka mata sekali lagi, agar tatapanku lebih jelas dan akhirnya aku bisa melihat Mama yang berurai airmata tapi sambil tersenyum sedang menatapku. Masih kabur sedikit.
Tapi aku bisa mengenalinya dengan baik. Di belakangnya, ada Papa yang juga tampak senang. Mama sibuk mengusap air mataku dengan tisu, tapi mata Mama sendiri basah. Dengan penuh kasih sayang, Mama mengusap pipiku. Kami bertangisan sesaat sampai aku teringat seseorang.
Kak Devira!
Ingatan itu membuat tubuhku bergerak mendadak. Tapi rasa sakit menyengat di sekujur tubuhku menghentikan gerakanku. Hanya suara lenguh kesakitan yang terdengar dari mulutku.
"Ayari!" Mama berdiri lagi. Tampak kuatir.
"Kak... De... "
Mama makin mendekat, meraih tanganku. "Devira baik-baik saja, Ya. Dia hanya luka ringan. Sebentar lagi dia ke sini. Papa mau Devira menjalani pemeriksaan total dulu. Sekarang dia masih periksa. Tunggu ya! Tunggu!"
Dulu aku juga bertanya seperti itu saat mencari Kak Malik, tapi mereka berbohong. Sampai mereka membuktikannya, aku akan menunggu. Meski rasanya sangat melelahkan untuk tetap terbangun. Mataku begitu berat, mengantuk dan kepalaku masih sakit kalau digerakkan, terutama saat menggerakkan leher.
Mama kembali berbisik pelan, "Ibumu sudah usaha ke sini. Dia langsung cari penerbangan ke sini begitu dengar kabarmu. Mama sudah bilang kalo kamu baik-baik saja."
Aku mengerjapkan mata. Berterimakasih sambil berusaha tersenyum. Bahkan kulit wajahku masih sedikit sakit. Mama mengangguk-angguk sebelum duduk lagi di sampingku. Saat itulah seorang dokter masuk dan memeriksaku sambil bertanya sedikit. Setelah itu Papa yang berbicara dengannya, sementara aku sibuk memeriksa tubuhku sendiri.
Tangan kiriku terasa nyeri, berat dan sedikit panas saat aku menggerakkannya. Ternyata bebat coklat membelit bagian sikuku. Aku mulai menggerakkan kaki, dan untunglah tak terasa apapun selain pegal biasa.
Kepalaku pusing, tapi masih bisa kutahan. Hanya bisa kurasakan ada perban di kepala. Luka di kepala ini berdenyut sakit. Kuhela napasku senang. Sekali lagi aku terbebas dari ujung kematian.
"Istirahatlah lagi, Ya!" kata Mama lembut sambil mengusap telapak tanganku. "Kalo kamu merasa mual atau ingin muntah, bilang ya."
Kupejamkan mata perlahan. Tidur lagi.
"Pak, Izinkan saya! Saya mau lihat Ayari, Pak!" Suara laki-laki setengah memohon terdengar dari arah pintu kamar rawatku.
"Sudah! Ayari harus istirahat dulu. Keluar! Keluar!" Kedua suara itupun menghilang lagi.
Mataku terbuka lagi, suara itu... suara Kak Malik! Aku menggerakkan leherku yang sakit. "Aduh!"
Tangan Mama menahan tubuhku. "Ssshhh. Sudah Ya, jangan bergerak dulu! Tenanglah, Nak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...