Aku duduk di dalam kamar, sendirian. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara obrolan di lantai bawah. Antara Kak Malik, Mas Doni dan Mindy.
Setelah makan malam bersama, aku langsung naik. Beralasan kalau aku lelah dan harus menelpon beberapa orang untuk urusan kerja dan seluruh kegiatan yang akan kujalani.
Aku tak berani ditinggalkan sendiri lagi bersama Kak Malik seperti tadi pagi. Aku bahkan berusaha menyembunyikan tanganku agar tidak terlihat olehnya.
Tapi air mataku kini tak bisa mengalir.
Selamanya ini air mataku mengalir karena merindukannya. Air mataku mengalir karena menyesali kepergian tanpa jejaknya. Tapi kini, Kak Malik ada di dekatku. Ia sedang duduk di ruang tamu, tertawa dan bicara dengan teman-teman kami, bersama seorang perempuan cantik bernama Erni.
Siapapun tahu mereka terlihat seperti pasangan yang sedang tergila-gila satu sama lain. Aku bukan lagi gadis SMA kekanak-kanakkan yang tak mengenal cinta. Tatapan yang sekali-sekali saling mereka lemparkan sepanjang makan malam tadi adalah buktinya.
Belum lagi sentuhan lembut Kak Malik saat memperbaiki poni istrinya, menyendokkan lauk ke atas piring istrinya dan pujian-pujian yang mengalir dari cerita Erni tentang kehidupannya setelah mereka bertemu.
Padahal ada begitu banyak orang saat makan tadi selain kami berlima, karena ada tiga pekerja Kak Malik yang juga ikut makan bersama. Mereka tinggal bersama pasangan itu di bagian belakang rumah kayu ini.
Untungnya, makin sering aku melihat mereka saling memandang penuh cinta, aku makin mengerti. Rasa sakit itu masih ada, untuk kehilangan, tapi entah mengapa aku lebih ikhlas seperti ini.
Kak Malik memang layak untuk bahagia, walaupun tidak dengan bersamaku. Ia dulu jarang sekali tersenyum, tapi kini senyum seakan tak lepas dari bibirnya sama sekali.
Tiba-tiba aku kangen pada Ibu. Tiap malam, jam segini biasanya aku mengobrol dan bercanda dengan Ibu. Aku merogoh tas tangan dan mengambil ponsel yang sempat kunonaktifkan.
Ketika ponsel itu mulai aktif, layarnya menampilkan fotoku bersama Kak Malik. Aku menghela napas. Lalu dengan cepat, jemariku sibuk mengusap layar, memberi perintah agar foto itu diganti. Kupilih fotoku bersama Ibu. Kak Malik kini menjadi milik orang lain, aku tak berhak menempatkannya di hatiku dan di semua barang milikku.
Tapi untuk menghapusnya aku tak sanggup. Jadi biarlah, sementara ini akan kusimpan di saja dalam galeri foto ponselku. Sampai nanti saat aku sudah siap melupakannya. Setelah itu, kuhubungi Ibu yang berada jauh di benua lain.
Karena aku suka menatap langit angkasa di malam hari, apalagi di tempat terbuka dengan pemandangan alam luar biasa di perkebunan ini, aku memilih keluar rumah dan duduk di kursi panjang yang ada di teras sambil menelpon.
"WAS!" pekik Ibu usai mendengar pemberitahuanku soal Kak Malik. "Dia menikah??" ulangnya tak percaya.
"Ibu... tapi istrinya baik dan cantik. Aku aja suka," kataku jujur.
"Tapi, Ayari... You love him so much. Kenapa... kenapa... ?"
"Sudahlah, Bu. Aku gak papa. Aku terima kok. Lebih baik Kak Malik bahagia seperti ini daripada dia gak ada kabar atau kehilangan nyawa karena aku. Aku bisa menyesal sampai mati."
"Tapi kamu gak papa, Neng?" tanya Ibu tak yakin sekali lagi.
"Ja, Mamma. Ich bin OK!"(TN: Ya, Ibu. Aku gak papa)
Cukup lama Ibu terdiam, sebelum akhirnya kami membicarakan hal lain. Aku ingin kembali menjalankan rencana semua. Berlibur bersama Ibu walaupun hanya sehari. Toh, visaku sudah telanjur diurus sebelum tahu soal Kak Malik.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
Aktuelle LiteraturAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...