36. Hurt

23.8K 2.5K 89
                                    

Kami memasuki ruang tamu yang cukup sederhana, tapi hangat. Walaupun kesan rustik begitu kental, tapi kehangatan dari warna-warna pastel yang terdapat pada bantal-bantal kursi, taplak meja dan bunga-bunga dalam vas membuat ruang tamu ini terlihat nyaman. Jelas terlihat kalau rumah ini dipenuhi dengan sentuhan wanita.

Aku duduk di sofa bersama Mindy. Sementara Erni, istri Kak Malik duduk di depan kami. Kak Malik dan Mas Doni duduk di sudut lain ruang tamu itu. Mereka berbincang sendiri. Sepertinya sesuatu yang cukup serius. 

Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Tak pernah sedikitpun aku terpikir kemungkinan kalau Kak Malik sudah menikah dengan perempuan lain setelah lima tahun berlalu. 

Sekarang, sekedar untuk bicara saja aku tak mampu. Aku sungguh tidak siap menghadapi situasi ini. Yang kulakukan hanya menunduk. Aku mulai meragukan semua yang terjadi sebelumnya. Jangan-jangan semua yang kurasakan dulu hanyalah perasaan sepihak yang tak terbalas. Jangan-jangan ciuman malam itu, hanya karena Kak Malik kasihan padaku.

"Maaf Mbak kalo kami datang mendadak," ujar Mindy pada Erni. 

Perempuan muda itu hanya mengangguk, namun tatapannya jelas tertuju padaku. Aku tahu karena tadi tatapan kami tak sengaja bertemu, membuat aku kembali menunduk. Perasaan jengah muncul disertai dengan rasa sesak.

"Sudah sarapan?" tanya Erni lembut. 

Duh, suaranya saja sudah mempesona. Ditambah wajah yang cantik namun kalem. Gerakannya juga anggun. Tak pantas rasanya aku membandingkan dengan diriku. 

Lima tahun ini tubuhku berubah drastis. Dari seorang gadis mungil dan kurus, menjadi gadis berotot tapi lebih kurus. Kulitku juga menggelap karena sering berjemur di bawah matahari saat latihan. 

Ada sesal menyelip di hatiku. Selama ini Ibu dan Mama sering membelikanku aneka kosmetik perawatan kulit dan wajah, cuma aku terlalu malas melakukannya secara rutin. Andai saja aku tahu.

"Sudah tadi, Mbak. Di pesawat," jawab Mindy lagi. 

Tak lama keluar seorang pria muda membawa lima gelas teh hangat. Aku berbisik berterima kasih. 

"Diminum tehnya ya, Mbak-mbak cantik," kata Erni menawarkan. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. 

Mindy berdiri. "Mbak, maaf. Saya boleh pinjam toilet sebentar?" tanyanya.

Erni menunjuk ke arah dapur, dan Mindy pun menghilang di balik dinding dapur. 

"Sudah lama kenal Mas Malik?" tanya Erni tiba-tiba. Aku tergagap.

"Mmm... lima tahun lalu Kak Malik bertugas mengawal saya, Mbak." Tanganku mencengkeram ujung blazerku, sebelum saling bertemu. Seperti biasa, kutanam kuku-kuku dalam telapak tangan sekuat tenaga. Menahan cemburu yang melonjak-lonjak di dadaku.

Kuberanikan diri mendongak menatap Erni. Wajahnya masih seperti tadi. Tenang dengan senyum menawan. Sungguh, pilihan Kak Malik benar-benar tidak ada cacatnya.

"Saya juga. Tapi baru tahun kemarin. Kami bertemu karena Mas harus jaga saya. Lalu... kami menikah," kata Erni. Pemberitahuan itu bagai godam besar menghantam hatiku. 

Tiba-tiba pria muda yang tadi mengantar teh berbisik pada Erni.

"Sebentar ya, saya ke dapur sebentar." Wanita itupun berdiri, menuju dapur diikuti oleh pria muda tadi. 

Jadi Kak Malik selalu seperti ini? Menjadi pengawal untuk gadis-gadis, memacari mereka dan kalau beruntung akan menikah dengannya. 

Ternyata Aku hanya satu dari sekian banyak gadis-gadis itu. Alih-alih memberitahuku kalau ia masih hidup, ia memilih menghilang. 

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang