18. Dice with Death ✅

24K 2.7K 25
                                    

Mobil melaju menuju Puncak, tanpa halangan.

Aku bersenang-senang. Di dalam mobil, kami menyetel musik, bernyanyi sampai suara serak, berhenti di tempat peristirahatan, jajan aneka makanan, sholat bersama orang-orang yang tak kukenal dan berada di antara keramaian tanpa ada mata yang memandang aneh.

Meskipun aku tetap menyamarkan penampilan. Kacamata hitam, topi hitam dan jaket hitam. Semua agar tak mudah dikenali.

Penyamaran membuatku berani meminta tisu saat di toilet, memberikan sayap ayam utuh yang tak bisa kumakan pada anak-anak di meja sebelah setelah memesan satu bucket ayam goreng bersama Mindy di sebuah restoran fastfood, dan menyempatkan diri duduk sebentar bersantai menikmati secangkir cappucino hangat.

Tak ada yang kukenal. Tapi aku menikmati suasananya.

Kak Malik sempat menelpon Mindy, tapi ia sudah mematikan ponselnya sejak pagi.

Dari Nico, aku tahu kalau Kak Malik mendatangi rombongan yang berangkat dengan bus, jadi kami memutuskan untuk bertemu di tempat kemah saja.

Menurut Nico, ia tetap mengatakan kalau aku tak ikut dan telah memperlihatkan data palsu yang tak tertulis namaku.

Beres... Tak perlu panik. Nikmati, jalani!

"Seneng bener ya yang sukses melarikan diri," goda Mindy dengan tangan sibuk memegang kendali mobil.

Aku cengengesan. "Tentu saja, Nyah! Siapa yang gak seneng? Setelah sekian lama... akhirnya! Akhirnya!!"

"Lebay ih!"

Kami tertawa bersamaan.

Tapi belum lagi tawa kami berhenti, sekelebat bayangan putih besar melaju di sisi mobil kami dan berbelok melintang memotong jalur mobil Mindy.

Melihat mobil besar putih berhenti tepat di tengah-tengah, otomatis kaki Mindy menekan pedal rem sekuat tenaga sambil membanting stir ke kiri.

Decit gesekan ban mobil dengan aspal terdengar nyaring dan panjang.

Aku memejamkan mata panik. Baru setelah kurasakan mobil berhenti, mataku terbuka lagi. Aku langsung menoleh memeriksa keadaan Mindy.

Sahabatku itu masih memegang kemudinya, matanya membelalak dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya sudah begitu pucat. Jelas sekali terlihat kalau ia panik melebihi diriku.

Setelah itu, aku memeriksa keluar. Ke arah mobil putih yang kini berhenti tepat di depan kami, seseorang melompat keluar dari dalam mobil.

Sejak mobil itu berhenti, aku sudah tahu siapa orang itu. Bergerak mendekat dengan kecepatan kilat.

Kak Malik.

Dari dalam mobil Mindy, aku bisa melihat wajah Kak Malik yang sebagian tertutup kacamata hitam. Begitu tatapan kami bertemu, ia membuka kacamatanya dan tampak menghela nafas. Kurasa ia lega melihatku.

Tangan Kak Malik mengetuk jendela mobil beruntun. Aku memilih keluar, menghadapinya. Toh, kami sudah terlalu jauh dari Jakarta. Aku juga harus membiarkan Mindy yang masih tampak terlalu shock.

"Kak Malik gila ya!! Gimana kalau kita tabrakan? Gimana kalo kita kelempar ke jurang? Kakak gak liat itu jurang segede itu? Gak bisa pelan-pelan ngasih kode apa? Kalo aku celaka gak papa? Gimana kalo Mindy juga? Gila! Kakak benar-benar gila!" teriakku marah dengan tangan terkepal.

Tapi Kak Malik menangkap tanganku yang hendak meninju dadanya dan memelukku sekuat tenaga. Aku berusaha melawan, dan kali ini kakiku yang bergerak menendang.

Aku bisa merasakan dua tendanganku mengenai sesuatu. Mungkin kakinya, mungkin juga pahanya. Entah apa, karena aku tak bisa melihat.

Tatapanku mengabur, dan satu-satunya yang terlihat sangat dekat saat itu hanya wajah Kak Malik yang menatapku dengan mata yang jernih. Jernih tapi putus asa.

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang