14. Jealous ✅

30K 2.8K 29
                                    

Dan seperti yang telah kuduga. Kami... kembali dihukum.

Bedanya, kali ini Mindy dan teman-temanku menunggu dengan penuh semangat di depan pagar.

"Lari lagi kita, Bu! Sudah siap?" tanya Mindy menggodaku.

Aku langsung memamerkan otot tanganku, membuat Mindy tertawa. "Woy! Lari itu pake kaki, bukan tangan."

"Terus? Lo mau liat paha gue? Sorry ya, Nek! Gue udah dilatih lari pagi tiap hari sekarang. Kencengan gue kali daripada elo."

Mindy terkekeh. "Beneran ya? Kita lomba. Siapa yang kalah entar nraktir teman!"

"Oke. Gak masalah! Tapi nraktirnya sekelas ya?" kataku sambil membentuk kode O dengan jariku.

"Siiip!"

Dan hukuman 10 kali berlari mengelilingi lapangan itu tak lagi terasa melelahkan apalagi memalukan. Aku justru senang.

Di tengah sorak sorai para siswa yang juga dihukum bersama kami, aku berhasil memenangkan perlombaan lari dengan Mindy.

Saat berlari, Kak Malik berdiri mengawasiku di balik kacamata hitamnya. Bibirnya terkatup rapat, tapi aku tahu ia sedang menatap puas padaku.

Aku tak lagi merasa hukuman ini jadi beban. Malah aku suka, berlari itu menyenangkan. Memang melelahkan, tapi itu membuat seluruh tubuhku terasa bergerak. Penuh semangat.

Jam istirahat, Mindy merengut kesal karena harus merogoh koceknya dalam-dalam. Aku tak perlu kuatir.

Mindy tak pernah punya masalah dengan uang jajan. Saat memesan makanan, ia mengomeli Kak Malik, yang tak malu-malu ikut bergabung.

"Kak Malik itu efek buruk! Kuman! Virus! Benar-benar efek buruk!" omel Mindy sambil menyendok baksonya. Menelannya bulat-bulat karena kesal.

Aku tertawa. Kak Malik malah tak peduli seperti biasa. Ia duduk diam tanpa ekspresi. Hanya menatapku.

"Bagaimana bisa ia mengubah gadis penyakitan manja kayak lo jadi atlet lari sih?" keluh Mindy.

"Muluuut!" sergahku kesal. Jadi begitu aku yang dulu, menurutnya.

Bukannya takut, Mindy malah memeletkan lidahnya padaku. "Emang bener kok! Kenyataan!"

Aku melirik Kak Malik. Yang juga menatap padaku. Masih tanpa ekspresi. Terbersit rasa kuatir di hatiku, kalau Kak Malik tersinggung dengan kata-kata Mindy. Maka ketika kami berjalan menuju kelas, aku berbisik pada Kak Malik.

"Kak, jangan marah ya sama Mindy! Dia emang gitu mulutnya. Bisanya ngomong kasar aja."

Kak Malik menggeleng. "Tenang aja, Nona. Sudah biasa. Lebih kasaran kamu kalo ngomong daripada dia."

"Apa!?" teriakku sambil menghujani Kak Malik dengan tinju. Ia hanya tersenyum.

"Ckckckck... kekerasan dalam rumah tangga seperti ini tidak boleh diperlihatkan di depan mata siswi yang berjiwa polos, gaes!" Suara Mindy menghentikan gurauan kami.

Tangan Mindy terlipat di dada memandangi kami berdua. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun. Hanya kami bertiga.

"Siswi berjiwa polos? Siapa?" tanyaku bingung.

Kening dan alis Mindy naik turun dengan mata bersinar jenaka, mengisyaratkan jawaban 'gue' dan kontan aku tertawa terbahak-bahak.

Justru gadis inilah yang mengajariku cara bolos dan lari dari pengawal, begitu dibilang polos??!

Seharian itu aku banyak tertawa. Bahkan di dalam kelas, aku merasa jauh lebih menikmati pelajaran dibandingkan sebelumnya.

Sesekali aku melihat Kak Malik melihatku sebentar dari balik jendela sebelum ia kembali menghilang entah kemana.

Saat jam sekolah sudah berakhir, aku tak melihat bayangan Kak Malik. Kupilih duduk di kursi depan kelas, menunggunya. Kakiku sedikit lelah setelah berlari cukup banyak hari ini.

Beberapa teman kelasku juga ikut duduk di sampingku. Tapi aku tak melihat Mindy. Mereka ini biasanya akan mengikut kegiatan ekskul, makanya tidak langsung pulang. Iseng aku bertanya pada teman yang duduk di sebelahku.

"Lagi jajan tadi. Sama bodyguard-mu, Yar," kata Nisa, salah satu teman sekelasku. "Kayaknya lagi modus tuh," lanjutnya lagi.

Aku mengangguk-angguk. Aneh aja kalau ada orang ganteng lewat di depan Mindy begitu saja. Sejak kemarin saat kami bolos, aku sudah melihat gelagat Mindy yang berusaha menarik perhatian Kak Malik.

"Kamu deket-deket sama pengawal ganteng gitu, gak berasa pengen jadi pacarnya, Yar?" tanya Nisa lagi.

Aku tertawa. "Enggak. Kak Malik ya sama aja kayak yang lain."

Mata temanku itu membulat. "Wiih, kirain. Karena keseringan lihat kali ya, ha ha ha... Yang dulu itu juga ganteng loh, Yar. Cuma galak."

"Galak?" Aku berpaling. Kali ini bertanya lebih serius. "Galak gimana? Di antara semua pengawal aku, cuma Kak Malik yang galak. Maksud kalian apa?"

Nisa tersenyum. Tampak malu. "Mmm... sama kamu memang baik, tapi pengawal-pengawalmu yang sebelumnya gak ada yang kayak Kak Malik gitu, Yar."

"Gak ada yang seramah dia. Kitanya juga jadi berasa nyaman. Kalo yang dulu, dicandain malah negur bahkan sering mengadukan kita ke guru. Jadi sebel deh. Ganteng juga percuma kalo gak bisa diajak becanda, " tutur Nisa dengan sedikit cemberut.

Aku termangu mendengar jawaban Nisa. Aku baru tahu ini. Kalau mereka memang melakukan hal itu, mungkin itu alasannya mengapa selama ini aku tak pernah punya teman yang benar-benar mengerti kondisiku. Mereka pasti tak berani mendekatiku.

"Ayaaaa!" teriakan yang kuhafal itu terdengar mendekat. Pasti Mindy.

Gadis itu melompat di depanku dan melemparkan sebuah roti di atas pangkuanku. "Tuh! Gue belikan. Bentar lagi Kak Malik ke sini. Dia lagi ngobrol sama Devira."

"Ngobrol?" tanyaku tak percaya. Bukankah kemarin ia ribut dengan Kak Devira?

Mindy mengangkat bahu. "Kayaknya minta maaf soal kemarin itu, Ya. Tapi entahlah... Devi masak tanya-tanya nomor telepon segala. Kan asem, gue lagi berusaha cari tau, eh dianya nyosor duluan tadi."

Melihat mimik wajah Mindy aku tertawa. Aku ingin bilang kalau ponsel Kak Malik hilang. Tapi saat itu aku melihat Kak Malik mendatangi kami. Ada Kak Devira di sampingnya. Bergelayut manja di tangannya.

Mendadak aku merasa kesal.

Untunglah, saat mendekat kulihat Kak Malik menepis lembut tangan Kak Devira. Kalau Mindy yang melakukannya, aku masih bisa terima.

Biar bagaimanapun, aku masih bisa percaya diri mengatakan kalau aku lebih baik segalanya dari sahabatku itu. Tapi kalau Kak Devira, aku tak yakin. Pasti sulit bagi Kak Malik menepis pesona gadis cantik dan anggun itu.

"Sudah waktunya pulang kan, Yar?" tanya Kak Malik padaku. Aku mengangguk.

"Hai Yari!" sapa Kak Devira.

Aku kembali mengangguk. Entah mengapa aku malas menjawabnya.

Kak Malik memandangiku seksama, "Kamu kenapa? Kok cemberut? Ada apa?" tandanya kuatir.

Mindy dan Kak Devira juga menatapku. Lalu Mindy tertawa kecil.

"Alaah, Kak. Maklum aja, dia lagi cemburu tuh! Ha ha ha... "

Aku melotot pada Mindy. "Apaan sih lo, Min?! Sembarangan aja kalo ngomong."

"Udah berantemnya, kita harus jalan sekarang," kata Kak Malik sembari mengambil tasku.

Aku menatap Kak Malik. "Emangnya kita mau ke mana?"

"Dokter," jawab Kak Malik singkat sebelum menggandeng tanganku.

Dua pasang mata memperhatikan tanganku yang berkait dengan tangan Kak Malik. Menatap penuh arti. Aku tersenyum licik.

Dengan sengaja aku bergelayut manja di tangan Kak Malik, memamerkan pada dua sahabatku, pada gadis-gadis yang dari tadi memperhatikan Kak Malik, pada Bu Della yang berpapasan di dekat gerbang bahwa akulah yang berhak menggandengnya. Hanya aku.

I am the only princess for Kak Malik anyway.

*****

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang