Tak ada senyuman, tak ada tawa tertahan dan bahkan aku tak mendengarnya mengejek atau mengatakan sesuatu lebih dari sebaris kalimat.
"Kak Malik marah sama aku ya?" tanyaku sambil menjajari langkah Kak Malik.
Kak Malik mengangkat kepalanya sedikit, sebelum kembali melihat ke arah lain. Menggeleng. Namun tetap tak bicara apa-apa.
Aku meraih lengan jaketnya, menariknya sedikit agar ia mau memperhatikanku. Tapi Kak Malik malah mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Kurasa itu Mas Doni.
Selama Kak Malik menelpon, aku bolak balik di depannya. Tapi saat aku berdiri menatap wajahnya, ia akan berpaling. Aku mencoba lagi, ia terus membuang muka. Sama sekali tak mau melihatku. Sebal melihat tingkahnya, aku menginjak kaki Kak Malik kuat-kuat.
Tapi sepatu Kak Malik itu sepatu militer. Keras bagai batu. Apalah artinya dibandingkan kaki mungil bersepatu kets dari pemilik berat badan hanya 40 kg ini?
Bukannya kesakitan, Kak Malik malah menatapku seakan bertanya, what the hell are you doing now, Aya? [TN: Apa yang sedang kau lakukan sekarang, Aya?]
Tanpa menghentikan percakapannya di telepon, satu tangan Kak Malik bergerak menarikku dan mendudukkanku di kursi dari potongan gelondongan kayu di taman perkemahan itu. Sama sekali tak tertarik untuk mempedulikanku.
Mau tak mau aku menunggu, entah mengapa aku tak lagi tertarik untuk bergabung dengan rombongan teman-teman yang tampak gembira, bercanda dan saling menggoda. Beberapa orang berlarian sambil berteriak-teriak. Entah apa yang diributkan. Begitulah anak kota, melihat tempat lapang sedikit jadilah tempat mereka bermain dengan gembira bak anak balita.
Aku juga anak kota, tapi sekarang semangatku mendadak hilang. Orang yang paling kupedulikan kini malah tak peduli padaku. Aku harus meminta maaf. Tapi tak mungkin mengatakannya langsung. Itu sungguh bukan caraku selama ini.
Iseng mataku tertumbuk pada kotak tisu. Hmm... Tisu.
Tanganku mulai bergerak, menarik satu demi satu lembaran tisu dari kotaknya, memotong jadi dua, lalu memutar-mutar setiap lembaran itu membentuk bunga mawar, menggulung ujungnya. Begitu terus hingga ada 10 bunga mawar terbuat dari tisu bertebaran di atas meja kayu itu.
Bersyukurlah aku atas dua tangan milikku yang tak bisa diam. Aku suka mawar, maka aku juga belajar membuatnya. Kadang dari kertas, kain, pita bahkan tisu.
Aku jarang punya teman bicara, jadi agar aku tak gila duduk diam sendirian, tanganku terbiasa bergerak. Ini salah satunya.
Aku melirik Kak Malik yang masih sibuk dengan teleponnya. Entah sama siapa lagi ia bicara karena aku mulai tak tertarik menguping. Dari tadi yang kudengar hanyalah koordinasi pengamanan dengan aneka bahasa kode yang rumit. Aku memilih sibuk mengerjakan bunga-bunga mawarku sampai tak sadar kalau Kak Devira datang menyusul kami.
"Bagus sekali, Ya," kata Kak Devira, sambil mengambil salah satu bunga dan mengamatinya. Jelas ia tampak heran. "Gimana cara bikinnya?"
Aku tersenyum. Akhirnya ada juga kelebihanku yang tak ada pada dirinya.
"Sudah, Dev?"
Kak Malik tiba-tiba mendekati kami sebelum aku menjelaskan cara membuat bunga itu pada Kak Devira. Kak Devira menoleh dan mengangguk penuh senyuman.
Kak Malik melirikku. "Kalau begitu, kamu temani Ayari dulu. Saya ke atas," katanya pada Kak Devira.
Aku tercengang. Jadi dia ingin meninggalkanku dengan Kak Devira?
"Eeh, Kak Malik, tunggu!"
Buru-buru aku meraup semua bunga yang sudah selesai kubuat, menangkupnya rapi menggunakan lembaran tisu membentuk karangan bunga kecil, memilin ujungnya agar tak berantakan sebelum menyodorkannya pada Kak Malik.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...