Sepulang dari Sydney, Ibu selalu sibuk dan mengurung diri di ruang kerjanya. Aku sendiri sibuk mengurus berbagai keperluan sebelum pindah ke Jerman untuk melanjutkan pendidikanku.
Papa dan Mama dua kali menelepon, bahkan datang ke apartemen. Selama itu, pembahasan tentang Kak Malik menghilang.
Satu minggu berlalu. Ibu memberitahu, "Everything is smooth, Ya. Edith datang ke court and everything as their plan."
[TN: Semuanya lancar, Ya. Edith datang ke pengadilan dan semuanya sesuai rencana mereka.]
"Kak Malik?" Hanya dia yang kupedulikan.
Tangan Ibu menggenggam erat tanganku. "Banyak yang dia harus beres-beres di sana, Aya. He isn't the same man like we knew before."
[Dia bukan lelaki yang sama seperti yang kita tahu dulu.]
"Tapi Kak Malik baik-baik aja kan, Bu?" tanyaku memastikan.
Ibu tak menjawab, hanya mengambil ponselnya, mengusap layarnya beberapa kali sebelum memperlihatkannya padaku.
'Let Ayari know I am fine, Bu.'
[TN: Biarkan Ayari tahu saya baik-baik saja, Bu]
Cuma itu? Tatapanku ke Ibu dijawab dengan anggukan. Kebiasaan Kak Malik selalu seperti ini, menjawab seadanya. Memberitahu seminimal mungkin.
Sampai suatu sore di minggu kedua sejak Kak Malik pergi, Mas Doni datang bersama Kak Devira. Aku tak lagi curiga melihat tangan mereka saling berkait. Rupanya kecelakaan pesawat kemarin akhirnya membuat Mas Doni mengerti siapa yang paling berharga di hatinya kini.
"Kak Malik telpon Mas Doni, Ya," kata Kak Devira begitu aku duduk setelah membuat dua gelas teh untuk mereka.
Tangan Mas Doni yang hendak meraih teh berhenti. Ia menatap penuh arti pada Kak Devira, yang malah tersenyum-senyum.
"Sudah Mas, jangan dipelototi gitu! Kak Malik ngomong apa aja?" tanyaku setengah menahan diri agar tak terkesan memaksa. Padahal aku sudah tak sabar ingin tahu segalanya.
Mas Doni tersenyum. "Misinya Malik itu baru selesai kalau dia pulang ke sini, Ya. Mereka masih mencari jejak anggota-anggota kelompok itu. Malik kontak saya karena dia bilang ada beberapa petinggi di Indonesia yang terindikasi anggota."
"Really? Kok Mas gak cerita ke aku sih?" kali ini yang mengkritik justru Kak Devira.
Lirikan mata Mas Doni berubah drastis. Ada seringai kecil di sudut mulutnya. "Kapan kita sempat ngobrol, Dev? Kamu seringnya ngambek aja kalo saya bahas kerjaan."
Bibir Kak Devira mencibir, membuatku menggeleng-geleng. Sudah lama aku tahu hati Kak Devira tertuju pada Mas Doni. Tapi penggila kerja seperti Mas Doni sepertinya tak membaca perasaan itu.
Dulu aku dan Ibu berkali-kali berusaha menyatukan mereka, namun semuanya bertemu jalan buntu. Setahun belakangan ini kami semua menyerah dan membiarkan hubungan keduanya berjalan apa adanya saja. Kalau memang jodoh, tidak akan ke mana. Untungnya, semua sesuai dengan harapanku dan Ibu.
"Kalau begitu Kak Malik minta bantuan Mas?" tanyaku. Mas Doni mengangguk.
Mas Doni mengangkat telunjuk dan jari tengahnya satu persatu. "Pertama... dia minta saya bilang ke kamu, kalau dia baik-baik saja. Dia kangen padamu, dan sedang berusaha pulang secepatnya. Kedua, ya soal urusan kelompok itu. Hanya itu."
Kenapa Kak Malik tidak bilang langsung padaku? Kenapa harus melalui Mas Doni? Apa dia tidak takut Mas Doni mungkin menyembunyikannya dariku?
Melihatku membisu, Kak Devira memelukku. "Sudah! Sudah! Jangan dipikirkan! Dari dulu Kak Malik kan gitu. Kita tunggu saja, Ya. Itu yang terbaik"
Tumben sekali Kak Devira memelukku seperti ini. Wajahnya terlalu sumringah untuk seorang gadis tomboy yang selama ini jarang bersikap manja apalagi romantis.
Keningku berkerut sampai tak sengaja mataku melihat ke jari Kak Devira. Sebuah cincin belah rotan bermata satu terselip di jari manisnya.
"Whaaat!! Ini apa???" teriakku keras menunjuk jarinya.
Kak Devira mesam-mesem sambil memainkan jemarinya itu menggodaku, sedangkan Mas Doni menahan tawa.
"IBUUUU! Komm her...!" Kali ini aku berteriak lebih keras.
"Ada apa? Ada apa?" Ibu keluar sambil membawa setumpuk kertas di tangannya. Berdiri bingung menatap kami bertiga.
"Mereka mau nikah, Bu," kataku memberitahu Ibu. Tapi nadaku seperti sebuah tuduhan.
Ibu masih bingung. Mungkin ia tak mengerti. Jadi aku mengulang dalam bahasa Inggris. "They're getting married, Bu!" [TN: Mereka akan menikah, Bu]
"WAS? OMG, OMG... Glückwunsch! Glückwunsch, Devira! Danke ya Allah.... Danke!" Ibu melemparkan kertas-kertas di tangannya ke lantai dan memeluk Kak Devira.
[TN: Selamat! Selamat! Makasih ya Allah! Makasih!]
Mata kami semua mulai berkaca-kaca karena terharu dan bahagia. Bahkan aku bisa melihat mata Mas Doni juga turut berkilau menahan airmatanya.
Sepanjang siang hingga malam, kami berempat merayakan berita gembira itu. Mereka akan menikah secepatnya sebelum aku dan Ibu pindah ke Jerman. Setelah itu Kak Devira takkan lagi bisa bekerja untuk Ibu.
Saat memberitahu inilah, Kak Devira sampai menangis tersedu-sedu dalam pelukan Ibu lagi. Rupanya, di hati Kak Devira, Ibu sudah seperti ibunya sendiri. Aku juga ikut menangis melihatnya.
Malam itu, di balkon kamarku, sambil memandang langit penuh bintang, aku mengenang masa-masa bersama orang-orang yang bahkan tak ada hubungan darah denganku. Mereka yang bekerja untuk orangtuaku, menjaga dan membantu mengurusku. Tapi bagiku, mereka bukan lagi staf atau karyawan orangtuaku, mereka sudah menjadi bagian dari hidupku.
Sama seperti bintang-bintang yang bertaburan dalam kegelapan malam, mereka memberi cahaya untukku. Tanpa kusadari, aku hidup dan tumbuh bersama mereka. Harusnya sejak dulu aku lebih menghargai semua ini dan bukannya terlalu memikirkan hatiku sendiri.
Kak Malik, pulanglah segera!
Aku ingin segera membalas kebaikan mereka yang telah membantuku, membantumu dan membantu orangtuaku. Tanpa mereka, Ayari takkan sekuat ini dan bisa tersenyum bahagia menikmati malam yang gelap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
Narrativa generaleAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...