19. His Exasperation

23.9K 2.5K 21
                                    

Aku tahu aku egois. Aku sering membuat orang-orang di sekitarku merasa tak nyaman. Aku sering menyakiti perasaan mereka. Aku juga sering mengecewakan mereka. 

Tapi biasanya aku tak pernah menyesali apapun perbuatanku itu. Aku bahkan sering merasa mereka pantas menerimanya.

Tapi kenapa sekarang aku benar-benar ingin membalik waktu?

Sepanjang perjalanan menuju lokasi perkemahan, aku tak lagi duduk di dalam mobil Mindy. Kak Malik memintaku ikut mobilnya. Malah Mindy juga ikut pindah ke mobil Kak Malik setelah tangan dan kakinya terlalu gemetar untuk mengemudi sendiri. Untungnya, ada satu tim pengawal lain yang menyusul kami, dan salah satunya mengurus mobil Mindy.

"Kalau kamu begitu lagi, kalo Kak Malik gak nampar kamu. Aku yang bakal nampar kamu, Ya!" desis Mindy dengan tatapan menakutkan saat baru mau masuk mobil Kak Malik. 

Kami sama-sama duduk di belakang, karena satu anggota pengawal tambahan duduk di samping Kak Malik yang menyetir.

Bibirku membentuk garis lurus. Melipatnya agar tetap diam. Aku yang salah. Pantas kalau Mindy begitu marah padaku.

Tapi bukan dia yang membuat perasaan bersalah terasa menyakitkan di hatiku saat ini. 

Seseorang yang sedang menyetir dalam kebisuan, yang hanya satu dua kata melontarkan pertanyaan atau jawaban. Itupun bukan padaku, tapi pada pria di sampingnya. Om Risben. Mereka berdua berbincang dalam dialog-dialog pendek seakan tak mempedulikan kalau ada dua gadis di belakang.

Sementara Mindy nampak jelas masih marah, dan ia sedang tak ingin bicara. Dari tadi, setelah menunjukkan kemarahannya, wajahnya terus menoleh keluar jendela mobil. Tak mau memandangku lagi. Jadi aku hanya bisa diam.

Kebisuan itu terus ada sampai mobil Kak Malik berbelok di perkemahan. Bus yang membawa teman-temanku belum datang. Karena itu Kak Malik memilih menunggu di hotel. 

Perkemahan yang akan aku dan teman-teman gunakan itu memang salah satu fasilitas dari hotel itu. Seperti dugaanku, bagian lobby sudah dipenuhi oleh para pengawal. 

Kak Malik masuk sambil memegang tanganku. Bahkan setelah ia mengumpulkan para pengawal untuk memberi briefing, ia tak melepaskan genggamannya. Aku pasrah. Tepatnya aku lelah. Setelah mengamuk tadi, entah kenapa aku hanya ingin tidur.

"... Jangan sampai kalian terlihat oleh teman-teman Ayari. Pastikan kalian berbaur seperti orang biasa. Saya ingatkan untuk tetap berada di posisi kalian terkecuali situasi darurat. Mengerti?"

"Mengerti!"

Aku menatap Kak Malik yang masih tampak sibuk mengatur ini dan itu. Berbicara dengan manajer hotel, menelpon entah siapa, lalu tampak memberikan serangkaian perintah pada orang-orang berbeda. 

Wajah Kak Malik serius sekali. Tak ada senyum tipis atau seringai masam. Tak ada tatapan menahan amarah. Ia bahkan tak melirikku. Hanya tulang rahang dan pipinya yang bisa kulihat sejauh ini. Kepalanya terlalu sering berpaling dariku. Menghindari tatapanku.

Setelah kuperhatikan baik-baik, Kak Malik hanya mengenakan kaus yang tadi pagi dipakainya berlari bersamaku, meski kini ditambah jaket biru. Celananya juga masih celana yang sama. Ia pasti tak sempat berganti pakaian atau mungkin juga mandi saat mengejarku. 

"Kamu dan Mindy istirahat di kamar dulu ya, nanti kalau teman-temanmu sudah datang, saya beritahu," kata Kak Malik memecah lamunanku. 

Aku tak sempat menjawab, karena Kak Malik sudah berbicara dengan Mindy. Kutelan penolakan dengan pasrah menerima apapun perintahnya. Toh, ia sudah menuruti keinginanku.

Mindy dan aku baru saja hendak menuju lift ketika terdengar suara seorang gadis memanggil. 

"Kak! Kak Malik!"

Wajah Kak Malik yang tadinya kuyu langsung berubah melihat orang yang memanggilnya, berganti cerah dengan senyuman. Seorang gadis berkaos hitam dan celana hitam berjalan cepat ke arah Kak Malik. Kak Devira.

"Nah, kebetulan Devira sudah datang! Kalian sekalian aja tunggu di kamar," perintah Kak Malik tanpa meminta persetujuanku lagi. 

Kak Malik menoleh pada Kak Devira dan mengangguk. Mereka tak saling bicara, tapi aku bisa melihat mereka berbicara melalui tatapan mata. Sebuah isyarat tanpa kata.

Begitu selesai, Kak Malik berjalan cepat meninggalkan kami bertiga. 

"Halo! Kalian gak info sih kalo jadi ikutan?" tanya Kak Devira saat sudah di depan kami.

Mindy melirikku, tersenyum miris. "Yes, this is a surprise!" katanya sambil mengangkat kedua tangan. Ia terlalu terlihat berpura-pura senang. 

"Sabar ya, Ya," bisik Mindy ketika kami masuk ke lift. Ia tak lagi segalak sebelumnya.

Aku memilih diam. Di sampingku Kak Devira mencoba membuka percakapan. Awalnya padaku, kemudian beralih ke Mindy setelah kurespon hanya dengan anggukan dan gelengan. 

Mindy masih bersikap jauh lebih baik. Mereka mengobrol walaupun singkat. Sementara aku hanya duduk di tepi tempat tidur, bermain dengan ponselku sendiri.

Duduk diam membuatku bisa memperhatikan semuanya. Kak Devira tampak aneh. Beberapa kali ia memeriksa jendela, lalu menutupnya lagi. Saat Mindy membuka gorden, ia malah menutupnya. 

Saat aku berdiri mengecek ke lapangan tempat perkemahan untuk melihat teman-teman sudah datang atau belum, Kak Devira buru-buru menutup lagi. Lampu kamar yang tadi dinyalakan oleh petugas hotel yang mengantar, juga dimatikan oleh Kak Devira tanpa bertanya. 

Kami lebih mirip seperti sedang bersembunyi di sebuah tempat yang gelap dan terlindungi, daripada sedang menikmati kenyamanan kamar hotel. 

Pasti semua ini perintah Kak Malik. Siapa lagi? Siapapun yang melihat tahu kalau Kak Devira menyukai Kak Malik, jadi apapun yang ia minta pasti dituruti gadis anggun ini.

Aku malas ribut. Sudah cukup banyak keributan yang kulakukan hari ini. Bisa sampai di sini saja aku sudah sangat bersyukur.

Ketukan di pintu membuat kami bertiga sama-sama melihat ke pintu. Kak Devira berinisiatif membuka. Ia mengintip dulu sebelum tersenyum lebar saat melihat siapa yang datang. 

Benar dugaanku, ternyata Kak Malik. Mereka saling bertukar senyum sebelum Kak Malik masuk dan mendekatiku.

"Teman-temanmu sudah datang. Tendamu juga sudah didirikan. Saya juga sudah sampaikan ke Pak Rahman dan ia membolehkan dengan syarat... kamu harus pakai tenda sendiri," kata Kak Malik menjelaskan dengan hati-hati.

Aku menatapnya. Aku tahu pasti selalu ada syarat. "Tapi aku masih boleh ikuti semua acaranya, kan?" tanyaku. Setidaknya masih ada sedikit harapan.

Kak Malik tidak tersenyum seperti biasa. Rahangnya justru mengeras saat mengangguk. Seperti menahan marah, sebelum melanjutkan. "Tapi kamu harus didampingi Devira. Dia akan bersamamu dalam tenda juga."

Aku melirik pada Kak Devira yang tampak senang. Tentu saja. Sekarang dia punya alasan untuk dekat-dekat dengan Kak Malik. Aku hanya bisa menghela nafas. Dadaku seperti ada yang menusuknya.

Kak Malik meraih jaket dan tasku, memberiku topi, menggandeng tanganku setengah menyeret keluar. Aku sedikit kaget ketika melihat di depan pintu sudah ada empat pengawal lain menunggu. Semua mengelilingiku.

Loh, apa-apaan ini?

"Kak, ini kenapa begini? Kenapa selebay ini?" keluhku sambil menurunkan pet topi agar bisa bersembunyi dari rasa malu ditatap orang-orang sepanjang lorong hotel karena pengawalan berlebihan ini.

Tangan Kak Malik mengencang, membuat tanganku sedikit terasa sakit. "Harus! Ini syarat dari saya. Lakukan atau tidak sama sekali!"

Suara Kak Malik terdengar jauh, padahal ia di sisiku. Ia hanya berbisik tapi seperti menghantam seluruh dinding di hatiku.

Kak Malik sedang marah. Sangat marah. Aku tahu itu.

***




My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang