Matahari belum tampak saat aku keluar dari rumah Papa. Setelah beberapa hari ke Denpasar untuk menengok bayi Edith, aku rindu berlari di tepi pantai rumah yang meninggalkan banyak kenangan ini.
Nanti saat aku berada di Jerman, pantai ini pasti akan menjadi tempat yang paling kurindukan. Sesuatu yang selalu membawa aku kembali sejauh manapun aku pergi.
Suara derik pagar kayu terdengar saat aku membukanya. Sepertinya pagar tua ini sudah terlalu lama tidak dibuka. Kedua adikku hanyalah dua penggila games online yang bahkan menjadikan permainan online itu sebagai olahraga, jadi mereka jarang mau berlari pagi sepertiku. Tidak heran! Kalau aku tak bertemu Kak Malik, mungkin aku akan sama seperti mereka.
Mungkin karena hari kerja, tak banyak orang yang berada di pantai saat ini. Aku justru senang. Sudah lama sekali aku tak menghabiskan waktu menghirup udara hangat pantai ini, karena itu aku memilih berlari pelan, menikmati semuanya. Makin sedikit orang di sini, makin menyenangkan.
Rasanya sudah sangat lama sejak aku pertama kali berlari di bawah perintah Kak Malik yang tegas, ketika napasku hampir putus karena tak terbiasa. Lalu dalam hitungan minggu, kami sudah berlari bersama sambil tertawa dan bercanda. Sebelum akhirnya aku menghabiskan lebih dari lima tahun, berlari dengan airmata bercucuran di pantai ini.
Kini aku kembali, mengenang semuanya dengan senyum menghias wajahku. Masih berlari sendirian, tapi aku tahu aku tak lagi sendirian.
Banyak orang yang kutemui sepanjang aku berlari selama lima tahun terakhir tanpa Kak Malik di sisiku. Semua orang berubah, seperti aku yang juga mulai melihat ke sekelilingku secara berbeda.
Aku berdiri diam membiarkan angin pantai menerpa wajahku. Sambil menoleh sedikit, ke arah matahari yang mulai mengintip. Kuambil kacamata hitam yang kuselipkan di krah kaus dan memakainya. Menatap matahari terbit seperti dulu lagi.
Dengan getar kekaguman pada Allah Sang Maha Pencipta, aku bersyukur masih diberi kekuatan untuk berdiri di sini setelah melalui sekian banyak kejadian yang hampir merenggut nyawaku.
Untuk sesaat aku menikmati sinar hangat yang dipancarkan sang matahari, hingga mataku sedikit gelap saat melihat ke arah lain. Tapi aku bisa menangkap ada seseorang sedang berlari ke arahku.
Mungkin itu orang yang kebetulan berolahraga di tempat ini juga. Aku mengangkat bahu dan berbalik, bersiap meneruskan lariku lagi. Aku ingin berlari sampai di dekat pintu lain pantai ini.
Di situ ada pedagang bakso yang disukai Mindy, aku ingin membelikan untuk gadis bengal itu. Hari ini katanya dia mau datang ke rumah.
"AYARI!"
Teriakan itu seketika menghentikan langkahku. Aku memutar tubuh. Seseorang yang tadi berlari berteriak lagi. Masih memanggil namaku. Mataku sudah mulai normal dan makin dekat aku makin mengenali orang itu.
Kak Malik! Orang itu Kak Malik!
Tanpa menunggu lagi, aku berlari sekencang mungkin. Kak Malik mungkin yang mengajariku berlari, mungkin karena dia juga alasanku untuk terus berlari tapi soal kecepatan, aku bagai kijang liar. Bertahun-tahun aku latihan, walaupun sebuah tembakan pernah bersarang di paha, tetap saja lariku tak seperti manusia biasa.
Tak sampai semenit, aku sudah bisa melihat Kak Malik dengan jelas. Ia tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya, menungguku. Ini nyata. Ini benar-benar nyata. Kekasih hatiku, pria yang mengisi seluruh hatiku, orang yang mengubah segalanya dalam hidupku, benar-benar berdiri di depanku. Menantiku.
"Kakaaak!" teriakku sebelum tenggelam dalam pelukan Kak Malik.
Kami berpelukan erat. Melepaskan semua kerinduan yang tertahan sepuas hati. Tak kupedulikan napasku yang terengah karena pelukan yang terlalu kuat. Bahkan saat ini kalau napasku putus sekalipun aku tak masalah. Selama aku tahu semua ini bukan khayalan semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...