21. A Necklace

24.4K 2.6K 54
                                    

Aku tak ingin melihat Kak Malik lagi. Menjengkelkan. Memuakkan. Setelah semua yang berusaha aku lakukan untuk berbaikan, dan ia masih saja sedingin es. 

Keinginanku untuk menikmati perkemahan bersama teman-temanku sudah lenyap, terbang entah ke mana. Percuma memperjuangkan keinginan ini saat orang berhati es seperti Kak Malik terus berada di sekitarku.

Tapi dia marah karena mengkuatirkanmu, Ayari.

Hati kecilku mengulang kalimat yang tadi diucapkan Kak Devira setelah aku mendorong Kak Malik jatuh ke kolam renang. Aku ingin membantah, tapi  aku tahu itu benar.

Sebenarnya, aku marah bukan hanya karena Kak Malik terlalu dingin padaku. Aku kecewa karena tak menyangka kalau tingkahku berbuntut panjang. Aku hanya ingin menikmati liburanku ini. Bersama teman-temanku. Itu saja.

Namun saat melihat kemarahan di mata Kak Malik, aku malah sedih. Semuanya jadi tak berarti lagi. Bahkan ketika keinginanku dituruti olehnya, aku tetap tak merasa senang. 

Aku hanya ingin melihat senyum Kak Malik lagi. Sedikit saja. Untukku. Mengikhlaskanku untuk bermain sejenak. Hanya itu. Sesederhana itu. Aku sadar, duniaku sudah dipenuhi dengan Kak Malik sekarang.

Malam sudah beranjak ketika kami semua selesai sholat magrib. Api unggun telah mulai dinyalakan sekumpulan teman laki-laki di kelasku. Ada yang mulai bernyanyi, memetik gitar dan ada yang sibuk mencari sesuatu untuk dibakar. Tingkah mereka berhasil memancing senyum geliku. 

"Gak gabung sama teman-teman, Ya?" tanya Mindy yang tahu-tahu sudah duduk di sisiku.

Aku menggeleng pelan. "Lo aja gih. Gue di sini aja. Kalo gue ke sana, mereka pasti ikut," jawabku sambil menunjuk keempat pengawal yang menyebar di sekitarku.

Mindy tersenyum masam. "Kak Malik mana? Masih marahan?" tanyanya setelah melihat sekeliling kami.

Aku mengangkat bahu. "Tau deh! Bodo amat! Males mikirin dia."

"Jangan gitu, Ya! Yang salah itu kita. Jadi harusnya kita berdua yang minta maaf."

"Gue udah coba, Min. Dia aja yang marah-marah gak jelas terus," dengusku.

"Itu karena Kak Malik kuatir." Kalimat sama seperti yang dikatakan Kak Devira.

"Kuatir apa? Kalo kuatir, harusnya dia berhenti bersikap begitu," kilahku sambil berdiri. 

Aku tak ingin meneruskan obrolan ini. Melelahkan. Semua orang pasti menganggap Kak Malik benar. "Sorry, Min. Gue mau istirahat. Capek!"

Di dalam tenda, kedamaian yang kucari juga ternyata tak ada. Kak Devira ada di sana. Baru selesai berganti pakaian. Ia mengajakku untuk menikmati pesta api unggun, tapi aku menolaknya.

"Entar aja aku nyusul, Kak. Mau ganti baju dulu," kataku memberi alasan. 

Kak Devira tak memaksa. Tapi jelas aku mendengar ia menghela napas. 

Setelah ia pergi, aku mengambil ponsel dan memasang earphone di telingaku. Mendengarkan musik. Memaksa mataku terpejam. Inilah duniaku. Selalu seperti ini. Di rumah atau di manapun tempatnya. Aku selalu sendirian. Harusnya aku sadari itu sebelum memaksa datang ke tempat ini. 

Setidaknya di rumah, aku punya tempat tidur yang lebih nyaman. Bukan tikar tipis dengan udara dingin menusuk seperti sekarang. Untunglah, tubuhku sangat lelah. Tak sampai semenit, aku sudah tertidur.

Aku terbangun, ketika seseorang melepaskan earphone dari telingaku. Saat aku berbalik ada Kak Malik bersimpuh di sebelahku. 

Rambutnya masih terlihat basah, berantakan disisir asal-asalan. Jaket hitamnya sudah berganti dengan jaket coklat. Wajahnya tertutup bayangan lampu, tapi aku masih bisa melihat titik-titik abu kehitaman di dagunya yang mulai tampak. Matanya tak lagi seperti tadi siang. Lebih lembut. Bahkan saat aku menatapnya, ia tersenyum tipis.

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang