Tanpa perdebatan, aku dan Ibu pindah. Mama sempat kaget, tapi kemudian ia menerima keputusanku.
Ibu dan Mama pun bicara, menyepakati pembagian jadwal berkunjung dan sebagainya denganku. Aku tak terlalu peduli soal itu. Selama aku bisa pergi sejauh-sejauhnya dari rumah.
Karena aku sudah mulai kuliah, kami tinggal di apartemen dekat kampus. Sedangkan Mindy tinggal di sebuah rumah kost tak jauh dari aparteman Ibu. Namun, kebanyakan waktunya, ia habiskan di apartemen Ibu. Kamarku bahkan sudah seperti kamarnya sendiri.
Kak Devira juga kini tinggal bersama Ibu. Sudah lama Kak Devira menjadi orang kepercayaan Ibu, jadi wajar saja kalau kemudian ia tinggal bersama kami. Selain membantu Ibu di rumah, Kak Devira juga sering diminta Ibu untuk mewakili pekerjaannya di kantor.
Ibu benar-benar berusaha keras menjadi orang tua untukku. Ia hampir tak pernah meninggalkan rumah, bahkan di tengah kesibukannya yang lama-lama terbaca olehku. Ibu memilih mengandalkan live conference daripada meninggalkanku. Ibu bahkan bilang akan meninggalkan semua pekerjaannya jika aku menginginkan itu.
Jadi aku belajar menyayangi dan memahami Ibu. Perlahan-lahan. Tanpa melupakan Mama dan Papa tentunya. Mereka semua bagian dari hidupku sekarang.
Setelah malam itu, aku tak berusaha melupakan Kak Malik. Juga tak berusaha mencarinya. Aku selalu menganggap, di suatu tempat, Kak Malik hidup dengan baik dan sehat. Sepertiku. Nanti saatnya ketika aku sudah selesai kuliah dan bisa menjalani kehidupanku sendiri, aku akan mencarinya lagi.
Meski Mindy sudah sering mengenalkanku dengan teman-teman pria, dan ia juga mulai dekat dengan beberapa di antara mereka, aku memilih menghindari cinta yang baru.
Cinta itu tak seperti yang dikatakan teman-temanku atau Mindy. Mereka bisa dengan mudah putus dengan kekasihnya dan mencari cinta yang lain.
Sementara bagiku, untuk melupakan bayangan Kak Malik saja aku kesulitan. Aku trauma mencintai orang. Sakitnya itu tak tertahankan sampai sekarang. Aku hanya berharap waktu akan mengobati rasa sakit ini dan mengubahnya menjadi kenangan meski sangat pahit.
***
Hari ini Mas Doni datang. Ia memang sering berkunjung. Tapi biasanya saat aku tidak ada. Sejak kejadian di rumah sakit saat itu, Mas Doni terus menghindariku.
Awalnya aku juga menghindarinya karena suasana di antara kami sangat canggung setelah aku tahu perasaannya padaku, mungkin lama-lama ia mengerti dan ia melakukan hal yang sama. Sebisa mungkin ia datang ke rumah Ibu saat aku sedang tidak ada. Mas Doni masih bekerja untuk Papa, dan datang ke rumah Ibu selalu sebagai wakil Papa.
Seperti hari ini. Seharusnya aku masih kuliah. Sayangnya, tadi pagi kami dikabari kalau dosen kami tidak hadir dan hanya meninggalkan tugas. Karena setelah kelas itu, aku tak punya kelas lain dan Mindy sendiri masih harus masuk dua kelas lainnya, aku putuskan untuk pulang. Tak sengaja, aku bertemu Mas Doni di ruang tamu.
"Gimana kuliahnya?" tanya Mas Doni usai kami berbasa-basi.
"Lumayan. Aku suka." Aku ingin segera masuk ke kamarku, tapi Ibu tak kunjung muncul setelah tadi meninggalkan Mas Doni untuk membuat segelas teh.
Suasana hening dan canggung menyeruak di antara kami. Mas Doni diam, aku juga. Aku berpura-pura melihat ponselku, meski tak ada yang penting. Sedangkan Mas Doni jelas sekali sedang menatapku, memperhatikan diriku.
"Itu tanganmu kenapa, Ya?" tanya Mas Doni.
Aku menunduk, melihat tanganku yang dipenuhi garis-garis kecil bekas luka. Buru-buru aku menutupinya, lalu menggeleng-geleng sambil tersenyum malu. Mata Mas Doni tampak berbeda. Senyum tipisnya lenyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...