Sore hari, aku dan Kak Malik sudah berpisah dengan teman-temanku yang juga sudah dihubungi orangtuanya.
Rupanya kabar kami bolos ramai-ramai sudah disampaikan guru ke orangtua masing-masing. Ponsel kami berdering bergantian, termasuk aku.
Untungnya Papa hanya bertanya apa aku pergi bersama Kak Malik atau tidak. Aku jawab jujur dan Papa pun mengakhiri telepon. Beda dengan teman-temanku, wajah mereka sudah menjelaskan semuanya.
"Aaah, tenang aja! Papa gue mana peduli soal gue. Udah jangan panik!" kata Mindy tertawa-tawa.
"Iya, tenang aja deh Yar! Kami ini udah sering bolos."
"Kamu tuh yang kasian. Kan baru ini bolosnya bareng kami."
Aku menggeleng. "Jangan kuatir! Kalo kalian gak takut, aku juga."
"Kalo begitu, sampai jumpa besok ya Yari sayang!"
Kami saling berpelukan, dan berpamitan sebelum berpisah. Setelah itu, aku baru ingat kalau mobil Kak Malik masih tertinggal di sekolah. Baru saja hendak memesan taksi, Kak Malik mengajakku sholat sebentar.
Ternyata setelah sholat, giliran aku yang mengajaknya makan lagi. Memang aku sempat makan bersama teman-temanku. Tapi aku tidak suka makan bakso dan hanya makan sedikit sebelum mangkok itu beralih ke teman-temanku.
"Kenapa kita gak pulang aja?" tanya Kak Malik saat aku memaksanya masuk ke sebuah restoran.
Aku mengangkat bahu. "Bosen!" jawabku sekenanya.
Setelah beberapa lama, baru ini rasanya aku duduk berduaan dengan Kak Malik. Kami jarang berinteraksi di rumah. Apalagi sejak aku larang.
Seakan mendukung kesunyian, tak banyak pengunjung restoran. Hanya ada kami dan dua pasangan lain. Itu juga duduknya saling berjauhan.
"Mau makan apa?" tanyaku pada Kak Malik.
Kak Malik menggeleng. "Tidak, saya masih kenyang."
Aku mengangkat bahu dan memesan satu beef steak. Setelah itu, sunyi lagi. Mataku jadi keliaran ke sana ke mari, mengalihkan perhatian.
Tapi lagi-lagi... tetap saja tatapanku dan Kak Malik bertemu lagi. Buru-buru aku menunduk.
"Lain kali... "
Aku mendongak. Kak Malik tampak ragu melanjutkan. Matanya menatapku ragu-ragu.
"Lain kali kenapa, Kak?"
Kak Malik menghela nafas sebelum menjawab, "Lain kali kalo mau jalan, ngomong saja sama saya. Saya tidak akan melarang. Tugas saya menjagamu, bukan mengekang keinginanmu. Salah atau benar."
Aku menunduk murung. "Mana aku tahu, Kak! Aku kan cuma pengen senang-senang dikit. Yang lain dulu begitu. Tiap kali aku pengen apa, selalu gak boleh. Ya aku kira Kakak juga gitu."
"Saya ngerti, Yar. Tapi hidupmu itu bukan hanya urusanmu atau Pak Rahman. Ini soal hidup orang banyak. Kalau terjadi sesuatu padamu, itu bisa membahayakan banyak orang."
Keningku berkerut. "Membahayakan banyak orang? Memangnya aku virus berbahaya?"
"Bukan itu maksud saya, Yar. Bukan itu," sergah Kak Malik. Tangannya terangkat.
Aku menatap penuh tanya.
"Hidupmu sangat berharga. Jauh lebih berharga dari yang kamu kira. Kalau hidupmu jadi taruhan, akan banyak orang yang juga mengalami bahaya. Kamu punya sesuatu yang tak dimiliki orang lain, dan itu bisa membantu orang banyak."
Aku benar-benar tak mengerti kata-kata Kak Malik. "Emangnya aku bisa apa, Kak? Lulus aja aku belum."
"Itu... "
Kalimat Kak Malik berhenti ketika pelayan datang membawa pesananku. Kami diam dan membiarkan sang pelayan mengatur makanan di depanku.
"Makanlah, kita harus segera pulang. Doni mungkin sudah meminta semua orang mencari kita sekarang," kata Kak Malik.
Aku terperangah. "Loh? Kok gitu? Kak Malik gak info?"
Kak Malik menggeleng. "Gak sempat. Ponsel saya mungkin masih di sekolahmu."
"Hah?"
"... Jatuh waktu saya ngelompati pagar sekolahmu. Jadi... " Kak Malik mengangkat bahu. Ia tersenyum sedikit.
Merasa bersalah, aku merogoh kantong jaket. Mengambil ponselku sendiri dan menyodorkan pada Kak Malik. "Ini deh, hubungi orang rumah! Mereka pasti panik."
Kak Malik menggeleng. Lagi-lagi sambil tersenyum. Duh, makin meleleh hatiku melihatnya.
"Gak perlu, sebentar lagi juga kita sudah pulang."
Baiklah, kalau begitu aku harus makan dengan cepat. Kupotong daging terburu-buru. Masih cukup besar sih. Tapi aku harus buru-buru. Aku memakannya walaupun membuatku hampir tersedak.
Tahu-tahu Kak Malik sudah berada di belakangku, menepuk punggungku pelan. Lalu masih sambil berdiri, Kak Malik memotongkan daging di piringku.
"Pelan-pelan saja. Gak usah buru-buru begitu," ujar Kak Malik sebelum kembali duduk di kursinya sendiri.
Iya, Kak. Aku akan makan dalam diam. Tapi please... jangan tatap aku seperti itu terus! Aku takkan lari darimu lagi hari ini .
Setelah makan, kami pulang naik taksi. Kak Malik duduk di sebelahku. Sunyi begitu terasa di dalam mobil berpenumpang 3 orang, aku, Kak Malik dan si Supir taksi.
Tak seorangpun yang berniat bicara atau membuka obrolan. Aku lelah, dan entah apa yang sedang ada dalam pikiran Kak Malik.
Sesampainya di rumah, aku duluan berlari masuk ke dalam rumah sementara Kak Malik membayar taksi.
Tapi belum sepuluh langkah aku melewati teras rumah depan, aku mendengar suara gedebuk.
Saat aku kembali menoleh pada Kak Malik, kulihat ia sudah jatuh terduduk di aspal parkiran. Wajahnya keliatan kaget, begitu juga aku.
"Kak!" teriakku sambil kembali mendekati Kak Malik, yang tampak menatap seseorang seraya mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
"Masuk, Yari!"
Seseorang berkata tegas padaku. Aku berpaling dan melihat Om Doni berdiri dengan tangan terkepal di depan Kak Malik. Matanya melotot marah menatap aku, dingin melanjutkan, "Ini bukan urusanmu! Masuk sana!"
Apa ia yang meninju Kak Malik?
Kenapa? Ada apa ini?
Mengapa wajah Om Doni merah padam menahan emosi seperti itu?
******
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...