Hari-hari berlalu begitu cepat kalau dilewatkan dengan kesibukan. Aku rasa itu falsafah yang benar setelah merasakannya beberapa tahun terakhir ini.
Semuanya sama saja. Rutinitas kuliah, bergaul dengan teman-teman kampus, menghabiskan waktu bersama Ibu dan Papa bergantian, dan tentu saja aku masih berlari. Sekarang lari malah jadi olahraga favoritku.
Kemampuanku berlari berkembang pesat. Mas Doni malah membuatku menjadi atlit marathon setelah ia diam-diam mendaftarkanku berkompetisi. Satu kompetisi, diikuti kompetisi-kompetisi lainnya dan akhirnya aku menjadi salah satu atlit nasional yang mulai diperhitungkan di Indonesia.
Hari ini sekali lagi aku memenangkan kejuaraan lari marathon antar mahasiswa se-Indonesia yang diadakan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Seperti yang diduga semua orang, aku memenangkannya. Kejuaraan terakhir sebelum menunggu wisuda.
Berapa tahun berlalu sejak aku berpisah dengan Kak Malik? Empat atau lima tahun?
Waktuku berjalan begitu cepat, hingga kadang aku tak lagi mengetahui tanggal dan hari. Yang kutahu, rasanya baru kemarin aku memulai kelas di kampus ini, lalu sekarang hasil kerja kerasku diterima dengan mudah. Bahkan skripsiku menjadi pembicaraan banyak orang.
Sepertinya, pengaruh Ibu yang mendatangkan teman-teman alumninya di Jerman berhasil membantu proses belajarku menjadi lebih efektif.
Beberapa hari terakhir, aku mendapat banyak respon dan tawaran bagus. Semuanya menarik. Kampus-kampus ternama bersedia menerimaku menyelesaikan program doktor.
Ada beberapa tawaran bahkan disertai program magang yang menantang. Salah satu dosenku juga memberiku pilihan, kalau beberapa perusahaan besar di Indonesia menawarkan posisi yang bagus untukku.
Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku merasa bangga. Tapi entahlah... aku tak pernah benar-benar menikmati kemenangan. Yang kusukai hanya satu, hidup dengan baik sesuai pesan Kak Malik, melangkah seperti yang ia inginkan, menjadikanku dekat dengan kenangan Kak Malik. Meski setelahnya, air mataku tetap saja masih sering berderai.
"Ayariiii!"
Tanpa menolehpun aku tahu siapa yang memanggilku dengan suara menggelegar seperti halilintar di tengah siang hari bolong, Mindy.
"Ayaaa!" Suara itu makin dekat dan akhirnya sebuah tepukan mampir di pundakku. Benar kan?
"Dipanggil gak noleh-noleh. Sombong bener sih!"
Aku menunduk, menyembunyikan sisa-sisa airmataku. Terlambat. Mindy sudah melihatnya. Ia menghembuskan napas kuat-kuat.
"Sambil menangis lagi?" tanya Mindy.
Aku menoleh padanya, berusaha memberikan senyuman terbaik. Tapi Mindy sudah hafal dengan kebiasaanku itu. Sudah lama ia tahu, juga Mas Doni dan Kak Devira. Semua orang, termasuk kedua adikku dan semua orangtuaku.
"Sudah, sudah, Ayari sayang. Jangan nangis lagi!" bujuknya sambil mengelus punggungku. "Ayari, Kak Malik sudah tenang di sana. Udah waktunya lo lepas dia. Kapan lo mau terima sih? Kasian lo-nya kalo gini terus."
Aku hanya bisa menunduk. Ya aku tahu, Min. Tapi rasanya berat melupakan seseorang yang kau cintai bahkan setelah kepergiannya.
"Sudah yuk, kita pulang. Gue antar lo ke apartemen." Dengan patuh aku mengikuti Mindy yang menarik tanganku menuju tempat parkir.
Sepanjang jalan pulang, seperti biasa aku lebih banyak diam. Mindy berceloteh tentang banyak hal termasuk menyinggung keberhasilanku.
"Hebat lo, Ya! Bisa ngalahin segitu banyak orang. Gue gak nyangka lari jadi spesialisasi lo selain otak yang encer. Amazing!" ujar Mindy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada pancaran kebanggaan di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
Ficção GeralAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...