Entah berapa lama aku dikurung dalam kamar mewah rumah sakit ini. Aku bahkan tak bisa lagi menghitung berapa kali matahari dan bulan bergantian muncul, walaupun setiap hari aku hanya bisa memandangi mereka.
Mereka mengira aku sudah gila. Kehilangan kewarasan.
Tapi mereka salah. Aku hanya lelah bertanya, berteriak marah, menangis memohon dan berulang kali menjelaskan pada dokter psikiater itu kalau aku baik-baik saja.
Sekarang, aku hanya benci semua orang. Aku marah pada semua orang. Mereka menyembunyikan segalanya dariku.
Satu penjelasan saja. Yang kuharap bisa kudengar dari orang-orang yang kukira mencintai dan menyayangiku. Justru kurasa merekalah yang gila. Mereka yang tidak waras. Aku hanya bertanya, dan mereka tak bisa menjawabnya.
Aku bilang aku tidak gila. Tapi karena mereka tak kunjung menjawab, maka aku tertawa sekeras-kerasnya sebelum menangis karena kesal. Apa sih susahnya memberitahuku yang sebenarnya?
Hanya karena aku tertawa, menangis dan berteriak dalam waktu yang sama, bukan berarti aku gila. Aku hanya perlu sesuatu untuk mengeluarkan seluruh beban yang menyesaki dadaku.
Setelah berhari-hari, aku lelah... Akhirnya yang bisa kulakukan hanya diam melamun memandangi bulan dan matahari itu. Aku bahkan tak lagi menghitung jumlah hari yang kulewati. Percuma.
Setelah bangun di pagi hari dengan mata basah dan hati yang sakit, aku sudah tahu hari itu akan berlalu, sama saja seperti hari kemarin. Tanpa kehadiran Kak Malik.
Aku hanya ingin mencari Kak Malik. Aku saksi terakhir saat ia menghilang. Andai mereka memberiku kesempatan, aku pasti bisa menemukannya. Tapi bagaimana lagi?
Orangtuaku selalu datang. Ketiganya. Juga Kak Devira dan Mas Doni. Mereka bertanya tentang keadaanku, menceritakan sesuatu yang lucu, atau sekedar mengajakku bicara. Tapi aku sudah malas bicara dengan mereka. Tidak ada gunanya. Karena pertanyaanku saja tak pernah mereka pedulikan.
Dulu, mereka hidup di dunianya masing-masing. Menganggap aku hidup normal padahal hanya Kak Malik yang menjadikanku normal. Sekarang saat mereka menganggapku gila, barulah mereka mempedulikanku. Lucu bukan?
Jadi itu sebabnya aku diam. Menatap kosong. Merasa percuma tetap hidup sampai detik ini. Andai saja ada benda di kamar ini yang bisa kupakai mengakhiri hidupku.
Seorang perawat bahkan ditempatkan bersamaku untuk mencegahku melakukannya dan kadang kedua tanganku dibelenggu bagai narapidana usai mengamuk.
Benakku dipenuhi pertanyaan, lalu buat apa mereka berusaha keras membiarkanku hidup kalau seluruh ragaku seperti dicabut begini?
Sampai suatu hari seseorang datang padaku.
"Ayari... "
Aku diam tak bergeming. Paling-paling orang itu dokter atau psikiater atau mungkin juga perawat baru atau mungkin seseorang di antara mereka yang mengaku sebagai keluarga atau temanku. Aku bahkan tak merasa perlu menoleh.
Tapi orang itu tak memanggilku lagi. Ia... seorang perempuan, malah memeluk dan menangis sambil memelukku. Lama ia menangis sambil menenggelamkan kepalanya di leherku. Aku tak bisa melihat wajahnya.
Siapa ini?
"Aya, maafkan gue! Gara-gara gue, lo ketangkep. Gara-gara gue, lo keilangan Kak Malik. Maafkan gue, Ya!"
Suara itu... Ini suara Mindy!
Cepat-cepat kedua tanganku melepaskan pelukannya agar aku bisa melihat wajahnya. Wajah teman baikku yang kukira menghilang bersama Kak Malik menatap sedih padaku dengan airmata bercucuran. Bibirnya bergetar saat tatapan kami bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...