Mataku hampir terpejam, ketika suara ponsel bergaung di kamarku.
Dengan malas, aku menggeliat, melirik jam digital dan mengeluh kesal. Siapapun yang menelpon selarut ini pasti orang kurang kerjaan! Ini pukul 3 pagi!
Untunglah hari ini aku tidur di kamarku sendiri. Di rumah Papa. Kalau di apartemen, pasti Ibu akan terbangun dan ikut marah.
Tapi rasa penasaran membuatku meraih ponsel di atas nakas dan mataku terang seketika melihat nomor ponsel bertuliskan 'Kak Malik' berkelap-kelip di layar monitor. Jantungku berdebar kencang tak karuan. Bergegas aku mengusap layar. Menerima.
"Halo, Kak?"
"Saya baru tahu kalau Edith ke apartemenmu kemarin."
Bertahun-tahun aku menanti telepon darinya, berharap nomor Kak Malik yang tak pernah kuhapus muncul di layar utama, meski ponselku berulangkali berganti. Berharap suatu hari akan seperti ini, ada telepon darinya. Tapi aku tak pernah menyangka, kalimat pertama yang ia tanyakan justru tentang Edith.
Aku tersenyum geli dan bangun. Duduk bersandar dengan bantal sebagai tumpuan. Kantukku sudah melayang entah ke mana. Santai aku memutuskan teleponnya. Lalu setelah menghela napas berulang kali untuk menenangkan jantung yang berdebar kencang, aku menelpon. Dengan video call.
"Halo! Kenapa putus?" tanya Kak Malik dari ujung telepon. Tak ada wajahnya, yang terlihat hanya telinga yang dilihat dari jarak yang sangat sangat dekat.
Aduh Kak Malik, kalau agen Interpol semua sebodoh dan sekonyol dirimu pasti para penjahat di seluruh dunia akan kesenangan.
"Kak, ini video call!" kataku setengah tertawa.
Kali ini layar monitor menampilkan mulut, lalu hidung sebelum akhirnya aku bisa melihat wajah Kak Malik sepenuhnya yang tampak terkejut melihatku. Aku sengaja memasang muka cemberut.
"Kalo nelpon itu yang ditanya dulu kabarku gimana? Aku sehat atau enggak? Bukannya langsung nanya inti gitu," kataku berpura-pura kesal.
Wajah Kak Malik tampak bingung. "Untuk apa? Saya sudah tahu semuanya, Ya. Kamu matikan lampu kamar kapanpun saya tahu. Saya hanya tidak tahu perasaan kamu gimana setelah bertemu Edith. Saya kuatir kamu marah lagi. Nanti lari lagi."
Aku tertawa menggeleng-gelengkan kepalaku. Bukannya aku tak sadar kalau belakangan ini ke manapun aku pergi selalu ada mata yang mengawasi dari kejauhan. Bukan Kak Malik. Tapi seseorang atau mungkin lebih dari satu orang yang diperintahkannya dari kejauhan.
"Kalo gitu, tau dong aku lagi tidur. Kenapa bangunkan aku sih?" keluhku pura-pura kesal.
"Karena saya gak bisa tidur."
Lagi-lagi aku tertawa. Duh, ya ampun. Sekian bulan tak bertemu dan bicara, yang ia katakan malah hal-hal remeh begini.
"Kak, serius dikit ih! Udah lama kita gak ngobrol kan?" ujarku setengah menahan tawa.
"Ini serius. Saya gak bisa tidur." Si wajah serius menatap tajam.
"Terus selama ini Kak Malik bisa tidur gitu? Enak dong! Gak kayak aku," tukasku tak mau kalah.
Bibir Kak Malik membentuk garis lurus. "Selama ini saya tidak tidur. Saya hanya tidur kalo perlu saja. Kalo mata saya benar-benar sudah lelah. Mana bisa saya tidur kalo setiap pejam mata yang keliatan cuma kamu."
Hadeeeuh, nih orang ya... tau aja caranya membuat hatiku berdegup tak karuan.
"Saya rindu sama kamu, Ayari." Tuh kan. Tak cukup sekali. Dia terus membuat jantungku berlompatan tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...