42. (Real) Family

26.1K 2.3K 54
                                    

Aku baru kembali dari kedutaan Jerman, ketika masuk ke rumah dengan lesu. Menyesal rasanya menyiksa diri memakai ojek. Ternyata panas terik di tengah kemacetan Jakarta benar-benar latihan mental luar biasa. 

Sejak Kak Devira memutuskan menikah dan menyesuaikan rencana kuliah nanti, aku memang mulai membiasakan diri untuk mandiri. Belajar memakai kendaraan umum, menumpang ojek dan bis. Andai aku tahu betapa mengesalkannya menunggu di bawah terik matahari begitu, mungkin lebih baik aku turun dan berlari saja. Hitung-hitung sambil latihan.

"Assalamu alaikum Ibu!" 

"Wa alaikum salam!"

Ibu berdiri dari sofa, menyambutku. Ia tertawa melihat wajahku yang kusut dan rambut awut-awutan. "Naik bis?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Ojek, Bu! Macet banget," keluhku.

Ibu tak menjawab, hanya mengibas-ngibaskan tangannya. Aku mendongak dan Ibu menunjuk ke arah sofa. Mataku mengikuti arah telunjuknya, dan seorang perempuan berdiri di dekat sofa tersenyum padaku. Kami sama-sama saling mengangguk.

Wanita itu berambut pirang pendek, dengan mata biru yang jernih. Perutnya terlihat membuncit. Ia sedang hamil. Wajahnya tak asing, tapi... aku berusaha mengingat-ingat. Lalu, teringat seseorang. Dia Erni! Istrinya Kak Malik. Tidak, dia klien Kak Malik. Perempuan Jerman bernama Edith Baumann.

"Halo, Ayari! Apa kabar?" sapanya ramah melambaikan tangan. 

Aku segera menyongsongnya. Memeluknya dengan hangat.

Ia benar-benar terlihat berbeda. Ini pasti penampilan aslinya. Rambut pirang dan mata biru. Entah bagaimana caranya ia menyembunyikan warna biru itu. Kurasa ia memakai soft-lens warna. Bahasanya pun sangat bagus. Takkan ada yang menyangka kalau Erni dan Edith adalah wanita yang sama. Sungguh penyamaran yang sempurna.

Untuk sesaat kami berbasa-basi, saling bertanya keadaan sebelum akhirnya Ibu pergi meninggalkan kami berdua agar bebas mengobrol.

"Sudah lama saya ingin bertemu kamu, Ya. Tapi... begitu banyak terjadi jadi baru sekarang bisa," kata Edith, tangannya mengelus perutnya. 

Kalau kami bertemu sebelum aku tahu ia siapa, mungkin sekarang aku takkan tersenyum setulus ini. Apalagi sambil ikut memandang bahagia ke perutnya yang membuncit itu.

"Maaf karena terpaksa kami bohong waktu itu ya, Ya. Kamu pasti marah," bisik Edith tak enak.

Aku tersenyum miris. "Sedikit. Hanya sedikit kok."

Kutuntun Edith agar duduk di sofa. Kami tetap saling berpegangan tangan. "Mas Malik itu membantu saya, Aya. Dia mengamankan saya dari kejaran mantan suami saya. Ayah kandung anak ini... sudah meninggal karena orang itu, jadi saya tak punya siapapun untuk berlindung."

Aku terenyuh. "Sekarang gimana?"

Edith menatapku. "Selesai. Sudah selesai. Saya akan tinggal di sini. Bagaimanapun Indonesia adalah tempat Mama saya dilahirkan. Saya ingin mengenal Indonesia lebih dekat."

"Mbak akan hidup sendiri?" tanyaku. Ada rasa kasihan menyelip di hatiku. Aku ingin sekali membantunya.

Edith menggeleng. Menatap ke perutnya lagi. "Tidak, sama anak saya dong. Juga dengan teman saya. Saya akan membesarkannya di sini. Indonesia negara ramah yang indah, cocok untuk membesarkan seorang anak. Siapa tahu nanti saya bertemu pengganti ayahnya yang jauh lebih baik."

"Aamiin," kataku sambil menepuk-nepuk punggung tangan Edith.

Mimik wajah Edith sedikit berubah sebelum ia memperbaiki posisinya dan kembali bicara. "Ya, saya datang ke sini untuk menjelaskan semuanya. Tapi saya tidak tahu mulai dari mana? Kamu mau bertanya sesuatu tentang saya atau Mas Malik dulu?"

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang