"Ayari... Ayari... "
Seseorang memanggilku. Terdengar sayup-sayup. Apa kami terlalu jauh? Aku berusaha mencari asal suara itu.
"Ayari... Ayari... "
Ada bayangan. Seseorang itukah yang memanggilku? Bayangan itu mendekat. Makin lama makin jelas.
Kak Malik.
Ia tersenyum padaku. Tangannya berusaha menggapaiku, aku juga. Aku ingin bersamanya. Aku merindukannya.
Tapi aku tak bisa. Sesuatu menghentikanku. Kedua tanganku sulit digerakkan. Sangat sulit hingga aku memaksa mataku terbuka.
Tak ada siapapun di depanku. Hanya ada dinding-dinding putih. Semua yang kulihat tadi hanya mimpiku.
Aku berusaha bergerak. Ah, sakit sekali. Tanganku terikat rupanya. Tali plastik itu mengikat kedua tanganku jadi satu sangat kencang, hingga tanganku seperti dijepit.
Kugerak-gerakkan agar simpulnya mengendur, tapi malah semakin membuat kedua tanganku memerah.
Untungnya mereka tidak mengikat ke belakang, dan kakiku masih bebas bergerak. Aku mulai mengamati sekitarku.
Aku ditempatkan di sebuah kamar yang cukup besar. Ada sebuah lemari, kursi dan meja dan sebuah tempat tidur. Tempat aku berbaring tadi.
Ada jendela dekat tempat tidur. Tapi saat aku mendekat dan memeriksa, aku hanya bisa menghela napas.
Percuma memakai jendela itu untuk melarikan diri. Aku bisa melihat jurang di balik jendela itu. Memang tak terlalu tinggi. Tapi tanpa pengaman, bisa dipastikan aku mati konyol jika melompat. Tempat ini seperti sebuah kastil.
Merasa sia-sia, aku duduk di tepi tempat tidur, memandang keluar jendela yang makin gelap. Memikirkan cara keluar dari tempat ini. Namun, aku bisa mendengar suara langkah dan suara orang-orang mendekat. Aku menatap pintu dengan takut.
Ya Allah, beri aku kekuatan!
Pintu terbuka dan ada beberapa orang masuk. Semuanya pria. Pria paling depan adalah orang asing berambut pirang yang berbahasa aneh tadi. Kurasa itu bahasa Jerman. Entahlah.
Aku hanya tahu Papa dan Ibu menguasai bahasa itu. Tapi Papa tak pernah menggunakannya di depanku. Apalagi Ibu yang tak kutahu jejaknya.
Sejak kecil, aku hanya diajari untuk mencintai satu bahasa. Sedangkan bahasa Inggris baru kupelajari saat mulai sekolah.
Oh... ada satu lagi bahasa yang kubisa, bahasa kasar yang sering digunakan para pengawal ketika mereka mengobrol tanpa sadar saat aku intip, bahasa penuh sumpah serapah yang sama yang digunakan teman-temanku di sekolah.
Si bule itu rupanya mengerti kalau aku hanya bisa melongok tak mengerti melihatnya. Ia memberi kode dan salah satunya bergerak mendekatiku. Pria yang dari awal membantuku menerjemahkan kemauan si Bule.
"Kamu jangan coba-coba lari! Lakukan apapun yang dia suruh!" katanya sambil sengaja memperlihatkan bagian bokongnya yang terselip senjata api. Aku ingin tertawa.
Papa membesarkanku dengan uang hasil mengamankan orang. Senjata bukan hal yang aneh bagiku.
Saat aku kecil, Papa tak pernah membacakan cerita Cinderella yang mengharap sang Pangeran, atau Putri Salju yang rela makan buah apel beracun.
Papa menyumpali kepalaku dengan buku, majalah dan artikel yang berkaitan dengan persenjataan, ruang angkasa, pesawat dan semua yang berhubungan dengan urusan keselamatan dan keamanan.
Entah berapa banyak senjata yang berseliweran di depan mataku, termasuk koleksi senjata tua Papa. Latihan menembak sudah kulakukan sejak aku masih SMP, bahkan sempat ditawari untuk ikut bergabung dalam tim nasional menembak saat SMA. Hanya Papa yang mencegahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...