Menuruti janjiku pada Mindy, aku tak lagi bertanya soal Kak Malik. Bahkan tak menyebut namanya sama sekali. Jika ada yang berkunjung dan tak sengaja mencetuskan namanya, aku berpura-pura memasang wajah setenang mungkin.
Kata Mindy, mengamati hal lain akan membantuku mengatasi kesedihan yang kusembunyikan. Itu benar. Ketika aku mulai mempedulikan ketiga orangtuaku, dan memahami situasi yang terjadi di antara mereka, fokus itu membantuku mengalihkan pikiran.
Mama dan Papa seakan punya kesepakatan tak tertulis dengan Ibu. Mereka datang menengokku bergantian.
Jika hari ini Mama datang pagi, sorenya Ibu yang datang. Besoknya jika Ibu yang datang pagi, Mama di malam hari bersama Papa.
Ketika tanpa sengaja Mama datang saat Ibu sedang mengobrol denganku, Mama akan beralasan datang tanpa rencana dan pulang dengan cepat.
Tapi aku kasihan pada Mama. Jelas sekali Mama lebih banyak mengalah. Intensitas kunjungannya sangat sedikit dibandingkan Ibu.
Aku tahu, Mama sebenarnya sering datang, namun ia pulang setelah melihatku sebentar. Sekali aku pernah melihat Mama dari jendela dari lantai atas tempatku dirawat, Mama masuk mobil tanpa menemuiku sama sekali.
Beberapa kali juga secara tak sengaja tatapan kami bertemu ketika Mama berdiri di depan pintu dan hanya melihat dari kaca pintu ruang rawat. Ia hanya tersenyum lalu berbalik pergi.
Biar bagaimanapun hanya Mama yang ada dalam masa kecilku, aku mengenalinya sebagai satu-satunya ibu sejak dulu. Ibu baru muncul belakangan, walaupun aku tahu ia selalu ada. Jadi, hatiku tetap sedih dibatasi seperti ini.
Aku juga tak terlalu mengenali Ibu, dan seburuk-buruknya Mama sebagai ibu, ia mengenaliku lebih baik dari ibu kandungku sendiri. Entah mengapa, aku merasa Mama bahkan lebih mengerti aku dibandingkan Ibu.
Hanya saja di sisi lain, aku kuatir Ibu kembali pergi meninggalkanku kalau aku lebih memikirkan Mama. Sejujurnya, situasi ini membingungkan. Aku bahkan tak berani membahasnya dengan Papa. Aku tahu beliau pasti lebih kebingungan.
Hari ini, tak sengaja, aku baru keluar dari ruang konsultasi menuju kamar saat melihat Mama berbalik lagi. Ia mungkin melihat Ibu yang memang sedang duduk menungguku di kamar.
"Ma!" teriakku mencegah Mama pergi. Tapi Mama tak mendengar. Ia terus berjalan menjauh.
Aku berlari, diikuti oleh perawat yang mengantarku. "Ma!" teriakku lagi.
Kali ini Mama dengar, ia menoleh dan tersenyum lebar saat melihatku.
"Mama kok pulang? Kok gak masuk?" tanyaku begitu selesai memeluk dan mencium pipinya seperti biasa.
Mama tersenyum pahit. Ia selalu seperti itu. Jarang mengekspresikan isi hatinya dengan jelas. Selalu menutupinya dengan senyuman.
"Ayo! Aku kangen. Kita makan bareng yuk, Ma!" ajakku sambil menarik tangannya.
"Ayari, ada Ibumu. Makanlah bersamanya," kata Mama pelan. Ia menyentuh tanganku, menolak halus.
Aku menatap Mama. "Justru sekarang aku ingin bicara dengan kalian berdua. Kedua ibuku. Harus. Sekarang."
Mama terdiam dan membiarkanku menyeretnya masuk ke kamar. Ibuku yang sedang membaca sesuatu tampak terkejut melihatku masuk menggandeng Mama. Mama berusaha tersenyum dan keduanya saling mengangguk. Tentu dengan wajah sama tidak enaknya.
"Aku pengen ngasih tahu kalo dokter bilang, aku udah boleh pulang," kataku pada Mama lalu menoleh pada Ibu. "I can go home, Bu."
Ibuku warga negara Jerman yang bahasa ibunya sendiri sudah sangat jarang dipakai. Aku tahu Ibu berusaha untuk bicara dalam bahasaku, tapi belakangan aku tahu Ibu sering tak memahami pembicaraan. Makanya aku kasihan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
Fiksi UmumAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...