15. Forgiving ✅

26.5K 2.7K 9
                                    

Ternyata, general check-up itu melelahkan. Dari satu klinik ke klinik yang lain, konsultasi dan pertanyaan yang bertele-tele, lalu disuntik, diperiksa, dipasangi berbagai alat dengan kabel, masuk dalam bulatan putih yang menakutkan dan difoto. Jelas bukan foto selfie, tapi foto rontgen.

Bahkan seluruh cairan yang keluar dari tubuhku diambil dan diperiksa. Air pipis, darah bahkan cairan telinga dan hidung.

Tak sampai di situ, Kak Malik juga menyertakan pemeriksaan kejiwaan. Ini yang sempat kutolak. Karena bertahun-tahun yang lalu, aku pernah diajak Papa berulang kali berkonsultasi ke psikiater.

Tapi Kak Malik menemaniku. Sepanjang pemeriksaan, ia duduk bersamaku dan membiarkanku menggenggam tangannya yang hangat. Keringat dingin membasahi tubuhku sepanjang konsultasi, namun kehangatan tangan Kak Malik menenangkanku.

Aku tak mengira, dari semua pemeriksaan, justru pemeriksaan kejiwaan yang terasa paling berat.

Saking lelahnya, aku tertidur dalam mobil sampai di rumah. Aku terbangun saat ban mobil menyentuh bebatuan di parkir rumah depan. Kuperhatikan parkir yang lebih ramai. Situasi yang kukenal setiap kali Papa ada di rumah.

Papa! Papa pulang!

Begitu mobil berhenti, aku membuka pintu dan berlari masuk. Teriakan peringatan Kak Malik untuk berhati-hati tak lagi kuperdulikan. Aku kangen sekali pada Papa.

"Papaaa!" teriakku begitu kakiku menyentuh teras depan.

Aku tak melihat Papa. Aku hanya melihat staf-staf Papa berdiri di aula. Baru ketika semua staf itu menyingkir, aku melihat Papa berdiri di tengah mereka. Kupercepat lariku.

Papa tersenyum lebar melihatku, ia membentangkan tangannya dan membiarkanku menyerbu masuk dalam pelukannya.

"Aya kangen Papa banget banget banget," ujarku manja sambil memeluk leher Papa.

Papa mengelus punggungku. "Papa juga, Ayari."

Beberapa saat kami saling berpelukan melepas rindu, sebelum Papa memegang tanganku mengajak ke rumah utama.

Di rumah, sudah ada Irsyad dan Arsyad, dua adik kembarku yang juga berlarian ke pelukan Papa.

Setelah itu, kami duduk berkumpul di ruang keluarga. Bercengkerama. Aku suka menggoda dua adikku, tapi sekarang mereka juga sudah pandai membalas. Jadi sebentar saja kami sudah ramai sendiri. Papa sampai geleng-geleng kepala.

Tak lama, Mama muncul. Bergabung bersama kami. Tapi tak lama karena Mama kemudian mengajak Icad dan Acad untuk naik berganti pakaian. Pasti mau pergi les.

"Malik mana, Ya?" tanya Papa setelah kami tinggal berdua.

Aku berpaling ke belakang, melihat ke arah rumah depan. "Tadi sih bareng. Gak tau sekarang ke mana? Mau Aya panggilkan, Pa?" tanyaku.

Papa baru mengangguk ketika terdengar suara Kak Malik yang muncul dari balik pintu utama. Ia mengangguk hormat pada Papa. Aku yang sudah siap berdiri pun duduk lagi.

"Duduk, Lik! Gimana? Ayari merepotkanmu?" tanya Papa sambil melirikku.

Aku juga menatap Kak Malik yang memilih duduk menghadap Papa, membelakangiku. Ih gitu banget Kak. Tapi gelengan kepala Kak Malik membuatku lega.

Papa hanya mengangguk sedikit sebelum menatapku. "Pergilah ke kamarmu! Tadi oleh-olehmu sudah Papa suruh taruh di sana. Papa mau bicara dengan Malik."

Sebenarnya aku takut meninggalkan Kak Malik. Aku kuatir Papa menyalahkannya. Jadi aku berdiri dan memeluk leher Papa yang sedang duduk dari belakang.

My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang