Setelah tak sengaja menemukan pesan WhatsApp Papa di ponsel Ibu itu, aku sempat marah pada kedua orangtuaku. Aku mengurung diri di kamar, sampai Papa dan Mas Doni datang menjelaskan.
"Kami juga tidak tahu apa yang terjadi padanya, Ya. Malik datang ke kantor saya. Sendirian dan dia hanya tanya soal kamu. Saat saya tanya apa yang terjadi selama ini, dia hanya diam. Saya mau info ke kamu, dia yang larang," kata Mas Doni ketika kami berempat telah duduk bersama.
Ibu duduk di sebelahku, sedikit gugup. Sementara Papa duduk di sebelah Mas Doni. Setelah sekian lama, akhirnya Papa dan Ibu bertemu lebih lama dari biasanya.
"Papa juga tanya, Ya. Tapi Malik bilang itu sudah gak penting. Sudah berlalu. Dia sudah memberi keterangan di kantor polisi dan yang ia akui hanya soal penembakan itu. Dia memang tertembak. Di punggung. Tapi bagaimana dia bisa selamat dan akhirnya muncul, Papa juga belum tahu," tambah Papa berusaha meyakinkanku.
"Kenapa Papa gak tanya sama polisi? Mereka kan teman Papa," tukasku.
Papa menghela napas. "Ayari, ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Papa juga tidak mau. Itu kepentingan penyelidikan yang harus dirahasiakan. Kita harus menunggu, paling tidak sampai persidangan ulang nanti."
Namun, aku tak menyerah. Aku harus menemui Kak Malik. Sebuah alamat kudapat dari Papa yang terlihat jelas sangat ragu dan terpaksa saat memberikannya. Lalu Papa meminta Mas Doni dan Mindy menemaniku.
Alamat itu berada di kota lain. Kota yang belum pernah kudatangi. Tapi aku tetap kukuh untuk segera pergi dan menemuinya.
Mobil sewaan yang dikemudikan Mas Doni memasuki jalan kecil berbatu dengan pepohonan hijau di kiri kanannya. Tanganku terangkat, meraih pegangan pintu, sekedar menyeimbangkan tubuh yang terbawa goyangan mobil yang melindas bebatuan.
"Ini perkebunannya Malik, Ya," kata Mas Doni menjelaskan tanpa menoleh. Ia tetap lurus menatap ke depan, berkonsentrasi menyetir.
Mindy yang biasanya banyak bicara, diam tak menimpali sejak kami turun dari pesawat tadi siang. Tiap kali aku melirik ke belakang, ia melihat ke luar jendela mobil. Sepertinya, ia juga memikirkan banyak hal.
Ternyata inilah perkebunan milik Kak Malik. Perkebunan luas berisi aneka macam tanaman dengan sebuah rumah kayu di tengah-tengah bukit. Mobil berhenti tepat di depan pintu pagar menuju rumah kayu itu.
Aku melompat turun dan begitu keluar, wajahku disambut oleh dinginnya hawa pegunungan. Segar. Kuedarkan pandangan ke sekitar perkebunan itu dan tersenyum sendiri.
Tempat ini cocok untuk dijadikan sebagai venue latihan marathon. Jalan tanah yang cukup lebar untuk dilewati sebuah mobil nampak mengular mengelilingi perkebunan luas ini.
Aku melihat tampak beberapa orang terlihat dari kejauhan, mereka sedang bekerja. Mas Doni dan Mindy juga keluar. Berdiri di sebelahku.
"Saya cari Malik dulu ya, sepertinya rumahnya kosong. Kalian duluan aja naik ke sana," kata Mas Doni sembari menunjuk rumah kayu itu. Aku hanya mengangguk.
Bersama Mindy, kami berjalan menuju rumah. Tidak terlalu jauh, tapi sedikit menanjak karena rumah itu berada tepat di bukit. Saat naik tangga teras, aku langsung jatuh cinta pada rumah bercat putih ini. Ketika berbalik, aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku.
Masya Allah, ini pemandangan sejuta dollar!
Pemandangan indah perkebunan luas dengan kehadiran beberapa hewan yang seperti dibiarkan bebas berkeliaran. Beberapa kuda terlihat di kejauhan. Tak jauh dari kumpulan kuda itu, aku bisa melihat ada sekumpulan domba sedang merumput. Dari tempatku berdiri, terlihat sebuah bangunan besar yang di sekitarnya banyak pekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...