Sejak usai menjalankan sholat subuh bersama, Kak Malik tak banyak bicara.
Karena aku takut ia tiba-tiba meninggalkanku, maka ke manapun ia pergi kuikuti.
Saat ia ke kamar mandi, aku menunggu di depan pintu. Saat ia ke dapur untuk memeriksa makanan yang ada, aku duduk di kursi makan memperhatikan. Juga ketika ia memasak mie instan dan menggoreng telur untuk kami berdua.
Setelah itu, Kak Malik masuk ke ruangan yang sepertinya ruang kerja, karena hanya ada lemari buku dan satu set meja kerja.
Saat ia tengah duduk menulis sesuatu, aku memilih duduk di sofa tunggal yang terletak di sudut ruang kerja itu setelah mengambil salah satu buku dari lemari. Mencoba membaca, mencari kesibukan.
Bukankah ini terasa menyenangkan, Kak Malik? Kita bisa bersama sepanjang hari.
Aku ingin sekali mengatakan itu pada Kak Malik, yang masih kelihatan sibuk sendiri. Entah apapun yang ia tulis. Tapi saat ini, aku tak ingin menambah kegalauan hatinya.
Cukup pernyataanku tadi pagi saja yang membuatnya seperti sekarang. Seperti orang bingung yang tak tahu harus berkata apa. Ia terlalu diam daripada biasanya.
Memandangi Kak Malik dari balik buku juga tak terlalu membantu. Buku yang pura-pura kubaca itu lama-lama justru memaksa mataku menjadi berat. Entah kapan tahu-tahu aku sudah tertidur.
Dok! Dok! Dok!
Suara ketukan di teras rumah membangunkanku, dan kulihat Kak Malik sudah berada dalam posisi siaga di depanku, memberi kode agar aku tetap duduk diam.
Kak Malik mengintip dari balik jendela lantai dua ruang kerja itu. Setelah melihat, Kak Malik segera turun ke bawah. Aku juga ikut berlari di belakangnya.
Yang pertama kulihat masuk adalah Kak Devira. Baru disusul beberapa orang pengawal. Mereka tak seperti tadi pagi. Sepatu mereka basah dan kotor, begitu pula jaket dan pakaian mereka.
Aku ternganga tak percaya saat Kak Devira melihatku. Ada luka berdarah di leher dan di bawah dagunya.
Setelah kuperhatikan mereka semua dengan baik, aku lihat mereka rata-rata terluka. Hanya karena pakaian yang gelap yang dikenakan, darah mereka baru terlihat kalau diamati dari dekat.
Buru-buru aku ke dapur, mengambil apapun yang bisa kupakai untuk memberi pertolongan pertama.
Untungnya di sana suasana tak lagi terlalu gelap, sinar matahari yang kini sempurna bisa masuk melalui jendela, hingga aku bisa melihat ada kotak P3K tergeletak di ujung meja dapur.
Tapi saat aku akan kembali, telingaku mendengar suara Kak Devira yang melapor dengan suara pelan. Sayup-sayup, hingga aku hanya mendengar beberapa bagian kalimat.
" ... Mereka salah... Menculik Mindy ... Baju mereka sama... kami kesulitan... Mas Doni belum datang... "
Aku terkesiap. Mindy? Mereka menculik Mindy?
Suara kotak P3K yang terjatuh, membuat semua orang menatap padaku. Tubuhku bergetar hebat saat bertanya pelan, "Apa ... Mindy kenapa?"
Kak Malik buru-buru mendekatiku, "Tenang dulu, Ya. Tenang dulu. Mereka gak akan berani melakukan sesuatu pada temanmu. Percayalah! Kamu tenang dulu."
Mataku lurus menatap tajam pada Kak Malik. Semua pengawal yang datang dalam keadaan terluka. Kalau mereka yang terlatih saja bisa terluka seperti itu, apalagi dengan teman-temanku?
"Kata Kakak, kalo aku sudah tandatangan semuanya beres. Ini... ini kenapa jadi begini?" pekikku panik, meminta penjelasan Kak Malik.
Kak Devira tertatih-tatih mendekatiku. "Bukan begitu, Aya. Perlu waktu untuk mengesahkan semuanya. Kita hanya perlu mengulur waktu. Kami sudah berusaha untuk mengamankan sebagian teman-temanmu. Tapi mereka bergerak cepat dan salah kira. Mindy pakai jaket dan sepatu yang sama denganmu, jadi mereka menculik mereka bukan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Bodyguard, Let Me Free! [TAMAT]
General FictionAyari Nayla Putri membenci pengawal barunya ini. Tak seperti puluhan pengawal yang pernah menjaganya, pengawal yang baru ini justru melakukan banyak hal yang sering membuatnya marah. Pengawal baru itu lebih mirip pengganti Papa dibandingkan berlaku...